Wednesday, 14 November 2018

Puisi Sederhana


Jatuh, insan rapuh
Lusuh, jiwa mati luluh
Kamu, aksara sastra
Aku, pembaca yang pandir

Sudah, diam jangan menangis
Cukup, luka jangan dibuka
Lenyap, hitam pekat
Gugur, tumbuh kembali

Aku juga punya rasa
Kamupun punya cinta
Jangan bicara tentang logika
Sebab ini, tentang kita





Tuesday, 18 September 2018

Sebuah

Terimakasih telah membungkam suaraku
Menghentikan desiran darah
Mematikan rasa
Terusirku dari jiwamu

Meski tertatih perih
Kubiarkan kamu membenciku
Biar seperti terserbu puluhan peluru
Kubiarkan kamu melepasku

Tapi aku akan tetap di sini
Menjadi dermaga
Menjadi pelipur lara
Menjadi tetes air
Menjadi sepercik cahaya
Menjadi pelukan
Menjadi bahu terkokoh
Menjadi sehelai sapu tangan
Menjadi apapun untukmu.

Maka memintaku, "Jangan pernah paksa aku untuk tidak mencintaimu."

Wednesday, 5 September 2018

Kebenaran

Sesungguhnya tidak ada yang benar-benar tidak mencintai.
Apalagi lalu pernah menjadi satu.
Waktu untukmu, masa untukku. Kita.

Sesungguhnya tidak ada yang benar-benar tidak mencintai.
Meski bibir mengelak terluka, tapi hati tetap menjerit lara.
Bilamana kekasih pergi, sunyi.

Sesungguhnya tidak ada yang benar-benar tidak mencintai.
Ketika bersabda ikatan tanpa rasa,
Jalas itu adalah cinta.

Wednesday, 29 August 2018

...

Aku rapuh sebab dua sabdamu yang jatuh
Lusuh sudah jingga dikelopak mataku
Embun suci menitik pipi
Risau kutanyakan dirimu pada sunyi

Sembab dada bilur akan rasa
Merindu senyum pagi buta
Untuk pena dan kertas,
Cintaku sungguh belum tuntas

Friday, 20 July 2018

Sabda Embun Pagi

Berterimakasihlah pada Dzat Yang Agung.
Atas diutusnya malaikat penebar rahmat.
Terurai pada tiap cahaya, anugrah paling mulia.
Cinta, dari padanya kita kini berada.

Yang ranum, kembali menjadi bunga.
Yang patah, menjadi tunas lagi.
Yang luka, kini bahagia.
Yang sepi, tersenyum bak pelangi.

Dari rimbun hutan hujan, kuseka embun di pelataran.
Rinainya masih berjatuhan, bernaung kita pada setangkai dahan.

Tak risau rupanya kau akan basah, sebab dekapku tak melepasmu.
Perih luka hati, disemayamkan pada sebongkah bahu tanpa duri.
Menutup matamu, menikmati simfoni cinta ala hujan reda.

Kelabu sendu mendayu, kita yang memadu.
Atas dua hati dalam bejana yang suci, terisi kisah kelak abadi.

Kita adalah hamba dari syair para pecinta.
Candu dari luka dan bahagia.
Biar tatap awalnya, biar nafsu katanya, biar luka nantinya, biar indah akannya. Jangan pisahkan.
Biar kita yang melukiskan.

Tuesday, 17 July 2018

Saat Sunyi Yang Nyata

Apasalahnya memandangi potretmu? Saat ini, atas nama rindu, kupaksa membuka kembali pada bab pertama tentang kita. Tunggu, ini baru mula, kenapa dada terasa sesak. Barangkali pada bab kedua atau ketiga, aku terisak, kemudian hanya tinggal nama. Sebab habisku dimakan masa lalumu.

Terputarlah lagi waktu itu. 

Saat dialog pertama bukanlah sebuah sabda, tapi tatap mata yang berbinar. Sesekali merunduk dengan senyum masih malu-malu, sesekali mengalihkan pandangan kelain arah, bukan ada yang lebih menarik dari terpautnya kita yang saling menatap. 

Tapi semakin lama berbicara lewat mata, semakin lemas pula hati terasa.


Bab kedua tentang cinta. Perasaan yang berdesir. Seperti debu gurun tertiup angin, berputar, terombang ambing tak terarah. Entahlah kenapa seluluh itu kita diperintah takdir asmara. Sendi terasa hampa, mencoba tetep berdiri kala kita bersua. Padahal ingin berkata, tapi apadaya, cinta membisukan bibir yang berbicara. Melumpuhkan segenap daya dan upaya. Akhinya tenggelamku dalam dekapmu.


Bagian ketiga. kita sudah mulai terbiasa. Segala hal indah dalam karya sasta tentang cinta sudah nyata. Gelak tawa, tubuhmu yang bersandar pada bahuku, lukamu menjadi lukaku, memadulah kita terus dalam satu airmata.


Bagian akhir, penderita. Sebagaimana hal yang telah digariskan, baik pergi atau mati, pertemuan akhirnya bersandar pada dermaga kesedihan. Saat yakinmu bukan lagi yakinku, saat lisanku bukan lagi penyejuk untukmu, ketika bahuku bukan lagi tempat ternyaman untukmu bersandar, ketika tak lagi ada wajahku saatku mentapmu, dan saat amarah merajai dua hati yang sesungguhnya mencintai.


Berakhirlah sudah, hilang senyumnya, baik kamu, atau aku, kita mati. Yang tersisa hanya tubuh tanpa rasa.

Luka, kata yang sangat memilukan, perih rupanya. Kau yang kehilanganku, dan aku yang kehilanganmu.


Atas nama rindu, kututp lagi potretmu. Sesak masih hinggap didada, tapi mau apa dikata, kita kembali menjadi aku yang jauh, dan kamu yang rapuh. Sebait kata kuucapkan pada akhir rasa yang resah, selamat malam duhai pelipur lara, selamat tidur duhai bunga yang sepat kujaga.

Puisi Hati

Rinduku terpendar diudara.
Pada tiap butir embun, senyum itu tercantum.
Bias mentari lazuardi, sungkan menyapu dingin  dari bahtera hati.
Sungguh, bunga abadi mengingatkanku akan dirimu.

Lusuh peluhku, bisu sabdaku.
Getar bibir hampir membunuh, ternyata pertanda rindu.
Barang sejari dari pelupuk mata yang hampir basah.
Secangkir kenangan tumpah ruah.

Dua hati terjarak takdir.
Memaksamu pulang, itu sangat pandir.
Biar mengalir kita sampai akhir.
Teruslah saling mencintai seperti fakir.

Sunday, 10 June 2018

Aku Pagi Ini

Kerap pagi datang dengan kegelisahannya.
Aku yang masih terjaga terbunuh sisa sisa resah semalam.
Fajar sangat senang rupanya menyambut hariku dengan kehawatiran.
Disuguhkan lamunanku tentang sebuah kematian. Bukan itu yang aku takutkan, tapi tahapan setelahnya.
Dipaparkan pikiranku dengan kisruhnya masa depan. Risauku kian kelam.

Realita mendamba sang mentari, inilah kisah nyata.
Terbaringku menatap langit-langit kamar yang putih kekusaman.
Imaji terbang menjauh, lewati batas kapasaitas.
Diriku kemarin, saat ini, dan nanti.

Secangkir kopi coba kujadikan pelari.
Kepul asap putih kehumbuskan dari mulutku. Hussssss.. ku hela napas panjang.
Sayang, kelumit ini takkunjung hilang.

Tuesday, 5 June 2018

DUA DAUN

Dua daun lungali menuju tanah
Haru lembayung saksi bisu
Atas takdir dimana mereka jatuh
Berpisahlah akhirnya

Sudah memang tentunya
Menangis rasanya percuma
Jangansalahkan angin
Sebab itu titah sang kuasa

Sesali sendiri
Putar bagian salahmu
Perbaiki film itu
Sebab esok tak tau mungkin berjumpa

Gugur bersama, namun tempat berbeda
Di ufuk timur kau berlabuh
Di ujung barat aku jatuh

Tuesday, 24 April 2018

Bajingan Disekitar

Siapa bajingan sesungguhnya?!
Pelontar dialog saja, atau mereka yang bertindak saat itu juga?!

Siapa bajingan sesungguhnya?!
Durjana penjilat situasi, atau mereka nestapa yang ikhlas ditindas?!

Siapa bajingan sesungguhnya?!
Pengobral solidaritas, namun uang kertas bertahta diatas. Atau mereka tak punya, namun benar setiap kata dan tingkahnya?!

Siapa bajingan sesungguhnya?!
Penakut tersalahkan, yang bersembunyi dari kebenaran. Atau kesatria dengan lamapang dada?!

Siapa bajingan sesungguhnya?!
Simuka dua penenang suasana, atau simuka dua belapis 3 aksara?!

Bajingan saja kau bajingan!
Pengecut untukmu pengumpat!
Persetan atas nama kebenaran,  empatimu mati sejak perkenalanmu dengan si canggih!

Doaku untukmu, semoga kau mati jalan sendiri menuju liang sepi!

Sunday, 15 April 2018

Hush! Desis Angin Pagi

Kadang saya berpikir bisa menaklukan segala bentuk ujian hidup dengan kekuatan saya. Tekanan dalam bentuk apapun, kadang saya rasa tidak menggoyahkan kebahagiaan saya. Saya masih bisa tersenyum, bersikap tenang, sabar, kemudian saya yakin akan menemukan jawaban.

Tapi kadang saya berpikir saya tidak dapat melakukan apapun, setiap kali cobaan datang. Seperti orang linglung. Hanya tertegun sambil menghisap dalam rokok yang tengah saya nikmati. Kalah, kata itu terus menggerayangi otak saya. Tak jarang tercetus teriakan menyerah  entah darimana, sehingga membuat saya menyandang pangkat pecundang.

Saya terhempas. Lepas tak terarah. Mencoba meraba cahaya, berharap menemukan penopang kekuatan. Sesaat saya lemah, saat selanjutnya saya membara. Tapi saya takut akan lelah, lelah bertahan pada kekuatan diri pribadi. Takut, kalau akhirnya saya hanyalah sampah.

Saya terus menunggu diatas lemah saya saat ini. Meneliti setiap yang menghampiri. Apakah seorang sahabat yang datang dengan ceritanya. Apakah seorang sahabat yang datang dengan masalah dan keperluannya. Apakah seorang sahabat yang hanya menanyakan kabar. Atau mungkin seorang sahabat yang datang dengan hasrat ingin menolong. Membangunkan saya dari tersungkurnya saya sejak tadi. Merangkul, kemudian menunjukan jalan menuju tempat pegangan terkuat.

Tapi satu yang pasti, bukan manusia yang nanti. Tapi Rahman dan Rahimnya Sang Ilahi.

Monday, 9 April 2018

Murka

Bahkan terlanjur celaka atas angkara murka
Lisan berdansa tak berdosa
Tercabik berdarah hati dengan nanah
Menuntut terbaik atas tingkahnya

Benarmu atas sabdamu
Benarku atas sabdaku
Membungkam atas pikirmu
Hacurlah kau menjadi abu

Sayat peluru tikam arogan
Menantang durjana kau si malang
Yang tak mengerti apa yang kurasakan
Sahabat datang, lalu menghilang, datang, hilang

Ranjau ilusi benar diri
Bubuhkan fatamorgana kebenaran
Perihal siapa paling bijak
Sepatah katapun enggan terdengar mengajak

Buyar indahnya
Perih batinnya
Mati bak babi
Terbunuh sang pemburu sunyi

Monday, 26 March 2018

GELEGAR!

Pantang berulang dendam
Buah pikir kelabu tertekan
Biar sumbang nada pemikat bimbang
Takan tumbang bak rumput di lapang

Teguh atas keyakinan
Beranjak menang, hatiku akan
Lumpuhkanmu hingga menjadi debu
Terhempas hilang mencumbu

Sunday, 4 March 2018

MERPATI PUTIH


MERPATI PUTH
Asal terlintas, dasar resah pembawa gudah
Merpati putih sampai diperaduannya
Bak raja dan ratu semalam
Pesolek anggun nan rupawan

Cengkrama halus sapa
Tak lelah senyum merekah
Ini malammu, maka nikmatilah
Menggapai bahagia, hingga nirwana

Doa-doa berhamburan
Akan langkahmu menuju kisah baru
Teguhlah disana, di atas bahtera penuh cinta
Hingga berakhir padaNya

Ini malammu, maka nikmatilah
Bahagiaku atas bahagiamu
Tanpa tapi, tanpa juga meski
Sebab sudah kupatrikan itu dalam hati




Pada hari bahagianya.
Gesang Aji Saka

Thursday, 15 February 2018

Kisah Sebentar

Pernahkah sedikit terpikirkan olehmu, manakala setetes rindu mampu berlabu kedermaga semestinya?
Dari hulu hatimu, mengalir, kemudian sampailah kehilir hatinya.
Bersua dimuara, namun baik dia ataupun kamu tak berucap. Hanya saling memikat.

Tidakah sedikit kamu mengingat, tentang sebuah cerita manakala tatapmu melebur ditengah hingar dunia. Sangat ramai, namun terasa sepi, hanya nampak senyumnya.

Dilucuti setiap kesedihan juga kesepian dalam sebuah pelukan. Terurai dikit demi sedikit ego untuk diri sendiri. Karena merasa dia, atau kamu, akan menjadi kita.

Hampir mereka merengekuh cinta. Namun nestapa berkata buka waktunya. Kini yang tersisa? Hanya sakit dalam jiwa. Baik kamu ataupun dia, belum menjadi kita yang nyata.