Friday, 20 July 2018

Sabda Embun Pagi

Berterimakasihlah pada Dzat Yang Agung.
Atas diutusnya malaikat penebar rahmat.
Terurai pada tiap cahaya, anugrah paling mulia.
Cinta, dari padanya kita kini berada.

Yang ranum, kembali menjadi bunga.
Yang patah, menjadi tunas lagi.
Yang luka, kini bahagia.
Yang sepi, tersenyum bak pelangi.

Dari rimbun hutan hujan, kuseka embun di pelataran.
Rinainya masih berjatuhan, bernaung kita pada setangkai dahan.

Tak risau rupanya kau akan basah, sebab dekapku tak melepasmu.
Perih luka hati, disemayamkan pada sebongkah bahu tanpa duri.
Menutup matamu, menikmati simfoni cinta ala hujan reda.

Kelabu sendu mendayu, kita yang memadu.
Atas dua hati dalam bejana yang suci, terisi kisah kelak abadi.

Kita adalah hamba dari syair para pecinta.
Candu dari luka dan bahagia.
Biar tatap awalnya, biar nafsu katanya, biar luka nantinya, biar indah akannya. Jangan pisahkan.
Biar kita yang melukiskan.

Tuesday, 17 July 2018

Saat Sunyi Yang Nyata

Apasalahnya memandangi potretmu? Saat ini, atas nama rindu, kupaksa membuka kembali pada bab pertama tentang kita. Tunggu, ini baru mula, kenapa dada terasa sesak. Barangkali pada bab kedua atau ketiga, aku terisak, kemudian hanya tinggal nama. Sebab habisku dimakan masa lalumu.

Terputarlah lagi waktu itu. 

Saat dialog pertama bukanlah sebuah sabda, tapi tatap mata yang berbinar. Sesekali merunduk dengan senyum masih malu-malu, sesekali mengalihkan pandangan kelain arah, bukan ada yang lebih menarik dari terpautnya kita yang saling menatap. 

Tapi semakin lama berbicara lewat mata, semakin lemas pula hati terasa.


Bab kedua tentang cinta. Perasaan yang berdesir. Seperti debu gurun tertiup angin, berputar, terombang ambing tak terarah. Entahlah kenapa seluluh itu kita diperintah takdir asmara. Sendi terasa hampa, mencoba tetep berdiri kala kita bersua. Padahal ingin berkata, tapi apadaya, cinta membisukan bibir yang berbicara. Melumpuhkan segenap daya dan upaya. Akhinya tenggelamku dalam dekapmu.


Bagian ketiga. kita sudah mulai terbiasa. Segala hal indah dalam karya sasta tentang cinta sudah nyata. Gelak tawa, tubuhmu yang bersandar pada bahuku, lukamu menjadi lukaku, memadulah kita terus dalam satu airmata.


Bagian akhir, penderita. Sebagaimana hal yang telah digariskan, baik pergi atau mati, pertemuan akhirnya bersandar pada dermaga kesedihan. Saat yakinmu bukan lagi yakinku, saat lisanku bukan lagi penyejuk untukmu, ketika bahuku bukan lagi tempat ternyaman untukmu bersandar, ketika tak lagi ada wajahku saatku mentapmu, dan saat amarah merajai dua hati yang sesungguhnya mencintai.


Berakhirlah sudah, hilang senyumnya, baik kamu, atau aku, kita mati. Yang tersisa hanya tubuh tanpa rasa.

Luka, kata yang sangat memilukan, perih rupanya. Kau yang kehilanganku, dan aku yang kehilanganmu.


Atas nama rindu, kututp lagi potretmu. Sesak masih hinggap didada, tapi mau apa dikata, kita kembali menjadi aku yang jauh, dan kamu yang rapuh. Sebait kata kuucapkan pada akhir rasa yang resah, selamat malam duhai pelipur lara, selamat tidur duhai bunga yang sepat kujaga.

Puisi Hati

Rinduku terpendar diudara.
Pada tiap butir embun, senyum itu tercantum.
Bias mentari lazuardi, sungkan menyapu dingin  dari bahtera hati.
Sungguh, bunga abadi mengingatkanku akan dirimu.

Lusuh peluhku, bisu sabdaku.
Getar bibir hampir membunuh, ternyata pertanda rindu.
Barang sejari dari pelupuk mata yang hampir basah.
Secangkir kenangan tumpah ruah.

Dua hati terjarak takdir.
Memaksamu pulang, itu sangat pandir.
Biar mengalir kita sampai akhir.
Teruslah saling mencintai seperti fakir.