Tuesday, 28 October 2014

KEBAHAGIAAN?

            Kebahaagiaan? Apa sih kebahagiaan itu? Kapan kebahagiaan itu datang? Dari mana asalnya kebahagiaan itu? Apa kebahagiaan datang seiringan dengan kenyamanan? Terus, kenapa sampai sekarang aku belum merasakan yang namanya kenyamanan? Dan yang paling penting, sampai sekarang aku belum dapat yang namanya kebahagiaan.
Apa dari tampang? Status sosial seseorang? Atau mungkin, dari tingkat keterkenalan seseorang dikalangan teman-temannya? Tapi kenapa aku tidak dapat kebahagiaan itu dari Dika? Kurang apa coba Dika. Ganteng, keren, anak band pula. Dia juga termasuk salah satu anak terkenal di sekolah. Percintaan aku sama Dika cuma bertahan tiga bulan. Awalnya aku seneng banget, karena bisa pacaran sama salah satu anak eksis di sekolah. Soalnya banyak keutungan yang aku dapat. Salahsatu keuntungan yang aku dapat dari  jadian sama Dika, aku jadi bisa ikutan esksis disekolah. Banyak yang kenal aku, karna aku pacarnya Dika. Terus juga, jadi banyak yang iri sama aku. Jelas saja pada iri, Dika kan pujaan cewek-cewek genit di sekolah, karena kegantengan dan ke-eksiannya.
Biarpun Dika cowok idaman kaum hawa di sekolahku, Dika tidak bisa membuatku nyaman ketika aku berada disampingnya. Dia terlalu kaku ketika sedang berada di dekatku. Bercandaannya juga kadang suka gak lucu. Tapi karena aku menghargai dia, jadi yaa terpaksa aku ikutan ketawa. Dika termasuk laki-laki yang suka berbohong. Kadang dia selalu beralasan mengatar ibunya ke mall, padahal malah nongkrong sama teman-temannya. Aku sangat tidak suka dibohongi. Sebab itu aku merasa tidak nyaman dengan dika.
 ( Tiba-Tiba hapeku berbunyi, satu pesan singkat masuk) sebentar, aku liat hape dulu.
“Nila pasti lagi bete yah? Jangan cembrut gitu dong, nanti manisnya hilang loh” Apaan sih nih si Farizan ga jelas banget kirim sms kayak gitu. Farizan itu temen sekelas aku. Dia anaknya super aktif. Selalu ketawa. Kayaknya ga ada beban gitu dihidupnya. Kalau aku lagi bete atau lagi cemberut, dia paling senang meledeki aku dengan kata-kata yang sama persis di sms itu. Terkadang aku suka ilfil sama kelakuannya yang suka ga jelas itu, tapi kadang juga kalo aku lagi suntuk karena tidak ada guru masuk, aku terhibur banget sama tingkahnya yang super konyol. Lohhhhh!!!! Ko jadi bahas si Farizan yang ga jelas itu siii! Balik lagi ke masalah aku dengan kebahagiaan.
            Aku juga pernah punya pacar namanya Nico. Dia salah satu anak eksis juga di sekolahnya. Memang sih gak seganteng Dika, tapi Nico itu jago banget main futsalnya. Mungkin itu yang membuat aku suka sama dia. Siapa coba yang gak mau sama anak futsal? Pasti ada ko yang gak mau. Hihihi. Aku suka sama Nico yaa karena aku memang seneng sama cowok yang jago main futsal. Hmm, kayaknya mantanku gak jauh-jauh ya dari anak eksis. Hihihi. Maklum kata teman-temanku, aku ini manis. Jadi yaa wajar dong kalo aku bisa dapetin mereka berdua.
            Percintaanku dengan Nico hanya berahan dua bulan saja. Alsannya sama kenapa aku memutuskan untuk meninggalkan Nico. Iya, apa lagi kalau bukan aku tidak nyaman dan tidak bahagia. Nico sebenarnya cowok yang baik, dia selalu ada untukku. Dia juga  jujur. Hanya saja dia selalu genit kepada cewek-cewek yang mendekatinya. Bahkan kadang ketika dia sedang bersamaku, masih bisa-bisanya dia melirik cewek-cewek yang sedang lewat. Belum bahagiain aku, malah udah nyakitin aja.
            Hmm. Aku harus mencari cowok yang seperti apa lagi biar aku bisa merasakan yang namanya kebahagiaan? Aku masih punya beberapa mantan lagi. Tapi gamungkin semuanya aku certain disini. Padahal rata-rata dari mereka memenuhi semua kriteria yang semua cewek manapun mau. kenapa mereka tidak bisa membuatku nyaman? Juga tidak bisa membuatku bahagia?
 (Hapeku kembali berbunyi, satu pesan singkat masuk. Dari orang yang sama. Farizan)
“Nila, rambutnya jangan di iket dong. Kamu terlihat lebih manis kalau rambutmu digerai” kenapa dia tau apa yang sedang aku lakukan dan aku rasakan sekarang? Dan kenapa dia juga tau kalau aku sedang tidak mengikat rambutku? Aku memang jarang mengikat rambut. Apalagi kalau dikamar yang suhunya lebih panas dari ruang tengah, pasti aku selalu mengikat rambutku.
Apa Farizan sedang ada di kamarku? Sedang mengintipku. Huuuuhhh kalau memang benar dia ada diakamarku, akan ku hajar dia. Tidak sopan berada dikamar perempuan malam-malam seperti ini. Kemudian aku mencoba memeriksa jendela kamarku, aku lihat keluar, tidak ada siapapun diluar. Hanya ada hembusan angin malam. Aku coba cek di kamar mandi pun tidak ada. Aku coba periksa di laci mejaku, ah, tapi yamasa dia ada di dalam laci mejaku. Hihihi.
Ketika aku berjalan melewati kaca di meja riasku, kucoba melihat sejenak diriku. Lalu kulepaskan ikatan rambutku hingga rambutku tergerai menjulur. “Emm.. kalu dilihat-lihat, aku memang lebih cantik kalau di gerai.” Gumamku dalam hati, membanggakan diriku sambil tersenyum sendiri. Hihihi. Kemudian aku kembali ketempat tidur dan menghempaskan tubuhku. Tanpa sadar aku terlelap.
***
Aku sudah ada di depan gerbang sekolah. pagi ini aku terlambat bangun dan membuatku terlambat pergi kesekolah karena semalam terlalu asik curhat dengan laptopku. “Pak, tolong bukain dong gerbangnya, saya kan cuma terlambat lima menit.” Mintaku lirih kepada bapak satpam penjaga gerbang. “Tidak bisa dek, ini perintah ibu wakasek” Jawab pak satpam. Tak lama kemudian datanglah seorang cowok dengan motor supranya yang kurang lebih motor itu berumur sama dengan umur adikku yang sekolah disekolah dasar kelas satu.
“Nilaaa minggirrrr!!!!!!!” Teriak Farizan dengan kondisi sepedamotornya masih kencang yang akhirnya menabrak gerbang sekolah. Setelah itu Farizan terkena marah ibu wakasek karna menabrak gerbang sekolah. Aku hanya bisa tertawa melihat Farizan terkena marah ibu wakasek. Hihihi.
“Nil, kita kan dipulangin nih, kamu mau kemana?’’ Tanya Tarizan.
“Aku mau pulang.” Jawabku.
“Gimana kalau kita jalan aja, yaa nyari angin. Kita cariin tuh si angin, aku disuruh nyariin si angin sama emaknya, katanya dia disuruh matiin kompor”
“Hahaha, kamumah bercanda aja si zan, yamasa si angin lagi main, disuruh pulang cuma buat matiin kompor doang hahaha”
“Hahaha, ih emang bener tau nil, emaknya si angin lagi nyuci soalnya hahaha”
“Hahaha, yaudah ayok, kita jalan-jalan”
            Sebenarnya aku tidak ingin jalan dengan Farizan, karena aku bingung mau kemana saja jadi aku menerima tawarannya. Farizan itu anaknya selengean, dandanannya tidak pernah rapi. Bajunya selalu dikeluarkan. Rambutnya tidak pernah disisir, dia selalu membiarkan rambunya acak-acakan. Katanya si keren, masa yang kayak gitu dibilang keren.
Kata teman-temanku dia menyukaiku sejak kita masuk di kelas yang sama. Dia sering juga menunjukan tanda-tanda kalau dia menyukaiku. Seperti meneraktirku makan, membantuku mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, yang memang dari dulu aku tidak terlalu suka dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Makannya aku selalu mendapat nilai jelek dalam pelajaran itu. Masih banyak lagi tanda-tanda kalau dia menyukaiku, tapi aku tidak pernah menghiraukannya. Dia terlalu biasa dimataku.
***
Disepanjang perjalanan Farizan selalu saja melawak, apapun yang kita lewati dan kita temui selalu saja dia komentari. Seperti ketika kami akan melewati seorang anak kecil yang berjalan sendirian, Farizan menancap gasnya lalu meneriakan “Woooyyy!!!!” Ke arah anak kecil itu, hingga kaget dan menimbulkan gerakan refleks yang sangat lucu. Aku dan Farizan tertawa terbahak melihat reaksi kaget anak tersebut.
Kemudian sampailah kami disebuah rumah makan. Aku memang sekelas dengan Farizan, tapi aku tidak terlalu mengenalnya. Yang aku tahu dia hanya anak yang sangat aktif, nakal, petakilan, dan selalu saja menggodaku. Aku banyak bertanya tentang dirinya. Ternyata dibalik semua keburukannya, dia mempunyai nilai plus. Farizan sangat pintar dalam hal sastra dan sejarah. Khususnya sastra dan sejarah indonesia. Pantas saja nilaiku selalu bagus kalau Farizan membantu mengerjakan tugas Bahsa Indonesia. Dia juga sangat bijaksana dan dewasa ketika aku meminta pendapatnya tentang hal apapun. Apalagi dalam urusan hati dan agama.
Kini pandanganku terhadap Farizan mulai berubah. Image dia tidak lagi seburuk yang aku bayangkan selama ini. Kini aku tengah menatapnya perlahan. Melihatnya sedang menikmati makanannya. Mungkin dia lelah karna terlalu banyak mengeluarkan energi sepanjang perjalanan tadi hanya untuk membuaku tersenyum.
Hari sudah mulai sore. Ketika perjalanan mengantarku pulang, tiba-tiba saja Farizan berheti. Aku bingung kenapa dia berhenti. Ternyata Farizan berhenti karena melihat seorang kakek tua yang sedang menjajakan jejengkok (sejenis bangku kecil) nya di pinggir jalan. Kemudian Farizan membeli jejengkok itu tiga buah. “Hey, buat apaan kamu jejengkok itu?” Tanyaku heran. “Gak tahu.” Jawabnya dengan polos. “Terus kenapa kamu beli kalau kamu gak tau itu buat apa?” Aku kembali bertanya. “Emm.. sekarang aku belum tau ini buat apa, tapi nanti ini bakal bermanfaat ko. Aku Cuma pengen berbagi sedikit rezekiku buat anak kakek itu yang sedang menunggunya pulang dengan membawa uang. Kamu lihat sendiri kan? Jejengkok itu belum ada yang laku terjual satupun tadi.” Mendengar jawaban dari Farizan sontak membuatku terdiam. Dia masih bisa memikirkan rezeki orang lain dengan cara membeli barang yang dia tidak tahu barang itu akan berguna atau tidak untuknya.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Dikepalaku teringat kejadian tadi siang bersama Farizan. Terlebih setelah apa yang sudah aku lalui bersamanya hari ini. Masih teringat jelas bagaimana kebaikan seorang Farizan yang selama ini aku kenal nakal, petakilan, dan genit terhadapku ternyata mempunyai hati yang semulia itu. Aku yakin, itu bukan cara untuk membuatku simpati kepadanya. Telihat sangat spontan ketika dia membeli jejengkok itu, dan jawaban yang sangat polos yang keluar dari mulutnya ketika aku bertanya kepadanya. Hatiku berdebar kencang. Debaran jantung mulai berdecak. Hempasan angin menghantam setiap rongga hatiku. Sihir apa yang sudah Farizan gunakan? Hanya beberapa jam saja dia sudah membuatku merasa nyaman berada di dekanya. Ada apa dengan hatiku? Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Bahkan dengan mantan-mananku sebelumnya. Ada apa denganku? Kenapa ada perasaan yang aneh ketika aku di dekatnya. Kenapa aku ingin berlama-lama dengan cowok aneh ini? Cowok yang tidak pernah aku hiraukan perasaannya. Ahh, mungkin saja ini hanya efek dari kesenaganku karena tingkah konyolnya saja. Kucoba tepis perasaan aneh itu dan memejamkan mata.
***
Keesokan harinya aku tidak lagi acuh dengan tingkah Farizan. Entah mengapa aku selalu merasa senang ketika ia menggodaku. Dia selalu membuatku tersenyum.
Hari demi hari kami sudah mulai semakin dekat. Karena kedekatan kami, sekarang aku tau semua yang baik dan yang buruk dari Farizan. Begitu juga dengan Farizan. Dia kini telah mengetahui banyak tentangku. Siapa yang sangka, cowok yang perasaanya selalu kuacuhkan, malah dari dia aku bisa merasakan kenyamanan. Meskipun aku belum merasakan kebahagiaan, setidaknya aku suadah tau rasanya kenyamanan ketika berada di dekat seseorang. Siapa yang sangka, cowok yang dulu aku anggap tidak pantas denganku karena kurang ganteng, sebab aku selalu membandingkan cowok yang mendekatiku dengan mantan-mananku yang kebanyakan dari mereka adalah cowok-cowok ganteng. Malah sekarang dia yang membuatku tersenyum. Siapa yang sangka kalau cowok biasa-biasa saja, tidak eksis di sekolah malah dari dia aku mendpatkan banyak pelajaran bagaimana tentang menghargai dan menikmati pemberian tuhan.
Perjuangan Farizan selama ini tidak sia-sia. Kini aku mualai menyukainya. “Ahh, mana mungkin aku menyukai cowok kayak Farizan yang bandel itu?” Gumamku dalam hati. Setiap perasaan aneh itu muncul, berkalili-kali itu pula aku coba menepisnya. Aku coba anggap semua yang terjadi denganku hanya karena efek samping terlalu dekat dengan Farizan. Padahal dalam hatiku, aku tak bisa memungkiri, kalau aku sekarang memang menyukai Farizan. Aku nyaman berada di dekatnya, dia selalu membuatku tersenyum dengan tingkah konyolnya. Iya. ini bukanlah efek dari terlalu sering dekat dengan Farizan, ini adalah rasa sayang, ini cinta. Kini hatiku telah yakin dengan perasaanku. Kalau aku menyukai Farizan. Tapi apakah Farizan masih menyukaiku? Aku sudah mengacuhkan perasaanya selama enam bulan ini. Kesenangan dan senyumku kini berganti dengan kucuran kegelisahan. Kegundahan menggelayuti setiap lamunanku. Kenapa setelah aku yakin dengan perasaanku, malah sekarang aku tidak yakin dengan perasaan Farizan terhadapku. Padahal baru saja aku merasakan kebahagiaan, kenapa secepat ini dia berlalu. Kerisauan ini menemaniku hingga terpejamnya mataku.
***
Hari ini aku sudah jajian dengan Farizan unuk bertemu sepulang sekolah. Rencananya aku akan mengutarakan perasaaku terhadapnya. Aku idak perduli apapun jawabannya. Kalau dia menerimaku, aku akan sangat bersyukur dan bahagia. Tapi kalau dia menolakku, dengan sangat terpaksa aku akan menjauh dari kebahagiaan yang baru saja aku dapatkan.
Langit semakin gelap. Langit sudah menitikan banihnya satu demi satu. Aku sudah menunggu sejam ditaman ini, tapi Farizan tidak juga datang. Hujan kini mengguyur bumi dan membasahi sekujur tubuhku. Aku hawatir Farizan tidak datang untuk menemuiku. Kalau sampai dia tidak datang, hancur sudah semua perasaan dan semua harapanku. Kegelisahan kian erat menggelayutiku. Aku sudah mulai tertunduk lesu karena sampai saat ini Farizan tidak juga datang. Ketika aku sudah beranjak meninggalkan taman, menelusuri jalan dengan jutaan rasa kecewa dan kesedihan, tiba-tiba saja terdengar suara. “aku fikir kamu bakal nunggu aku sebentar lagi nil.” Aku menoleh kearah tersebut yang ternyata adalah Farizan yang berdiri di bawah cahaya lampu jalan dengan basah kuyup. “Aku suka sama kamu Nila dari sejak pertama aku tau kita satu kelas. Aku suka senyum kamu nil, makannya aku akan melakukan apapun supaya kamu bisa tersenyum nil. Aku suka sama kamu nil udah lama, tapi aku takut buat ngutarain perasaan aku, karena aku tau aku bukan tipe kamu. Aku bukan cowok eksis. Aku anak nakal nil. Aku ga ganteng Nila. Aku gak tajir. Dan aku ga sekasta samakamu nil.” Mendengar ungkapan Farizan aku langsung menitikan air mata. Hatiku terasa terenyuh. Debaran jantungku tidak menentu. Aku tidak bisa membendung rasa bahagiaku. Tanpa berkata apapun aku lalu berlari menuju Farizan dan memeluknya. “kamu memang buakn tipe aku zan. Kamu memang gak ganteng. Kamu memang gak eksis. Tapi kamu bisa bikin aku nyaman dan bahagia. Kamu memang gak sekasta sama aku. Tapi kamu bisa bikin aku sayang sama kamu zan.”
Dan pada akhirnya aku bisa menemukan kebahagiaan. Ternyata kebahagiaan bukan terdapat dari ketampanan seseorang. Bukan juga dari tingkat ketajiran dan keeksisan seseorang. Melainkan dari hati yang suci, ketulusan, kasih sayang, kejujuran, kelembutan dan cinta. Tidak perduli siapapun orang itu, apapun statusnya, dan bagaimanapun keadaannya. Ketika seseorang memiliki ketulusan, saat itu dia akan mendapat kebahagiaan.


Pamulang, 16 September 2014
GESANG AJI SAKA





DIORAMA TIGA HATI


            Tuhan menciptakan jutaan rasa dalam sebuah gumpalan daging yang disebut hati. Diantara jutaan rasa itu, tuhan menciptakan satu rasa yang setiap manusia pasti akan merasakannya. Rasa yang tak bisa diukir oleh logika, tidak pula bisa di nalar oleh matematika. Cinta. Itulah sebutan tuhan untuknya. Aku tidak bisa mendeskripsikan tentang rasa yang satu ini,  aku juga tidak terlalu mengerti tentang rasa ini. Yang aku tahu, semua rasa yang ada didalam hati, bermuara pada satu rasa yang  sama, yaitu cinta.
            Aku memang tidak mengerti apa itu rasa cinta. Tapi aku pernah merasakannya, merasakan sentuhannya yang indah, merasakan perihnya yang menyiksa, dan merasakan dekapannya yang begitu nyaman. Namaku Arinda, dan aku akan berbagi kisahku kepada kalian tentang rasa cinta yang pernah aku alami.
            ***
            Pagi ini terasa berbeda, nyanyian burung lebih keras dan terasa lebih ramai. Sambutan sinar mentari pun lebih hangat dari biasanya. Entahlah apa yang akan terjadi padaku hari ini. Mungkin saja aku akan menemukan cintaku? Hehe, aku terlalu berharap. Memang selama ini belum ada satu cowok pun yang mampu menyentuh hatiku. Aku juga tidak mengerti kenapa seperti itu, mungkin kebanyakan dari mereka hanya tertarik pada kecantikanku, bukan hatiku. Aduh, maaf ya, ini bukan akunya yang pede loh, tapi memang benar aku ini cantik kata teman-temanku. Bahkan diantara mereka ada yang memiripiku dengan Heyley Williams.
            Setelah selesai aku menikmati pagi yang indah ini, segera aku bergegas menuju sekolah. Seperti biasa, aku berangkat sendirian, menelusuri jalan dengan pohon-pohon rindang disekitarku. Bandung memang sangat sejuk ketika pagi hari. Saat diperjalanan aku merasa haus, kemudian aku membeli sebuah minuman dan kulanjutkan perjalananku. Sesampainya aku di depan gerbang sekolah, tiba-tiba saja ada yang menabrakku sehingga minuman yang ku pegang mengenai bajuku. Aku membersihkan bajuku dari noda minuman itu, setelah selesai aku membersihkannya, aku mencari siapa yang menabrakku tadi. Tapi sayang orang itu sudah tidak ada.
            Sekarang aku sudah berada di dalam kelas. Nugi yang melihat bajuku kotor langsung spontan menanyaiku apa yang telah terjadi denganku. “Kamu kenapa rin? Kok baju kamu kotor gitu sih?” Tanya Nugi. Nugi adalah sahabatku, aku dengan Nugi sudah bersahabat sejak kelas satu. “Aku gapapa ko gi, cuma tadi pas aku sampai di gerbang sekolah, ada yang nabrak aku, terus minuman yang sedang aku pegang tumpah ke baju.” Jawabku pelan. “Kamu tau siapa yang nabrak? Terus dia minta maaf gak?” Nugi kembali bertanya kali ini dengan nada kesal. “Gak tau gi, ketika aku selesai membersihkan bajuku, dia sudah tidak ada.” Belum selesai pembicaraanku dengan Nugi, Ibu Syuryati wali kelasku memasuki kelas dengan seorang cowok. “Anak-anak! Semuanya harap diam! Duduk ditempat masing-masing!” Ucap ibu syur lantang. “Anak-anak, hari ini kalian kedatangan murid baru, dia pindahan dari Jakarta. Silahkan nak, perkenalkan dirimu.” Ibu syur mempersilahkan cowok baru itu untuk memperkenalkan diri.
            “Perkenalkan, nama saya Radit. Saya pindahan dari Jakarta. Saya pindah kesini karena orang tua saya dipindah tugaskan ke sini.” Ucap cowok itu. Kemudian ibu syur menyuruh cowok baru itu duduk di sebelah Nugi. Pelajaran kemudian berlanjut sampai bel istirahat berbunyi.
            Ketika aku sedang berada dikantin, aku bingung untuk duduk dimana, kantin hari ini sangat ramai sekali tidak seperti biasanya. Biasanya kantin baru ramai saat jam istirahat kedua. Tiba-tiba saja ada yang memanggilku. “Arinda! Sebelah sini!” Rupanya Nugi yang memanggilku. Dia sedang bersama seseorang, ternyata cowok baru itu. Segera aku menuju kearah tempat duduk Nugi. “Dit, kenalin, ini Arinda sahabat aku.” Ucap Nugi kepada cowok baru itu sambil mempersilahkanku duduk. “Radit.” Ucap cowok itu. “Arinda.” Balasku.
            Aku langsung akrab dengan Radit, Nugi pun sepertinya seperti itu. Radit memang terlihat seperti anak baik-baik, mungkin itu sebabnya aku dan Nugi langsung akrab dengan Radit. Nugi kemudian menceritakan kepada Radit bagaimana aku dan dia bisa bersahabat. Banyak yang Nugi ceritakan tentangku kepada Radit. Tentang aku yang belum punya pacar, tentang aku yang menolak banyak cowok. Dan masih banyak lagi. “Udah dong gi, tentang aku mulu yang diceritain.” Kataku sambil memasang muka cemberut. Nugi dan Radit hanya tertawa mendengar kata-kataku. “Kamu manis kalau pasang muka kayak gitu.” Puji Radit. Aku hanya tersenyum mendengar pujian Radit. Sementara Nugi sedang asik menulis sesuatu di buku kecil miliknya. Nugi memang senang menulis di buku kecilnya itu, entahlah apa yang ia tulis dibuku kecil miliknya yang selalu ia bawa kamanapun ia pergi. Ia tidak pernah memperbolehkanku untuk melihatnya.
            ***
            Keesokan harinya, ketika aku sedang mengambil buku pelajaranku yang tertinggal di kolong mejaku aku menemukan sebuah bunga dan kertas kecil menempel pada bunga itu. Di ketas itu bertuliskan. “tetaplah tersenyum, karena senyummu mampu membuat taman bunga yang layu menjadi mekar kembali.” Siapa yang memberiku bunga dan kata-kata ini? Ahh, munkin saja salah satu cowok yang suka denganku. Tapi kalaupun iya, kata-katanya cukup romantis. Hihihi. “Anak-anak! Kumpulkan tugas yang ibu berikan kemarin!.” Tiba-tiba ibu syur masuk kedalam kelas dan mengagetkanku dari lamunanku. “Aduh, aku lupa membawa buku tugas itu” Gumamku dalam hati. Aku kebingungan, bu syur pasti akan menghukumku karena tidak membawa buku tugas itu apapun alsannya. “Nih, pakai buku aku saja, belum aku namain ko bukunya.” Kata Radit kepadaku. “Ah tidak dit, terimakasih.” “Sudah ini ambil, gak usah sungkan. Tuh sudah aku namai dengan namamu.” Paksa Radit sambil tersenyum kearahku. Senyumnya tulus sekali sehingga aku tidak bisa menolaknya. “Makasih ya dit, nanti kalau ada tugas lagi, aku akan mengerjakan tugasmu sebagai tanda balas jasaku.” Ucapku kepada Radit. Radit hanya tersenyum melihatku tanpa membalas kata-kataku.
            Ketika jam istirahat aku melihat Radit sedang membersihkan kamar mandi. Benar saja, bu syur pasti akan menghukum siapapun yang tidak mengerjakan tugas darinya, apapun alasannya dan siapapun dia. sekalipun dia anak baru. Kemudian aku menghampiri Radit. “Dit, maafin aku ya, gara-gara aku kamu jadi di hukum sama bu syur.” Radit menaruh pelannya kemudian menatap mataku sambil tersenyum. Ketika ia tersenyum hatiku langsung berdebar kencang. sekejap aku langsung salah tingkah ketika ia menatapku. Belum pernah aku merasakan perasaan seperti ini. Padahal banyak juga cowok yang berkorban untukku, tapi aku tidak merasakan apapun terhadap mereka. Senyum Radit berbeda, disenyum itu terselip ketulusan dan keikhlasan. “Kenapa melihatku seperti itu, emm, ada yang aneh yah?” Tanyaku sambil melihat apa ada yang aneh dari penampilanku. Radit kembali tersenyum. “Kamu cantik rin hari ini.” Dug, jantungku semakin berdebar kencang. perasaan aneh mulai menggelayuti relung hatiku. Kenapa dengan kata-kata seperti itu saja membuatku merasa deg-degan dan salah tingkah seperti ini? “Aku kekantin dulu ya dit.” Aku langsung meninggalkan Radit. Bukan karena aku tidak suka dipuji olehnya, tapi aku sudah bingung berhadapan dengannya. Melihat matanya. Ditambah perasaan yang aneh ini, dan jantung yang berdebar-debar tidak seperti biasanya.
***
            Ketika perjalananku menuju rumah, langit terlihat sangat gelap. “Sepertinya akan turun hujan.” Gumamku dalam hati. Tak berapa lama aku menerka, langit menjatuhkan butir demi butir air. Segera aku lari menuju ruko yang tidak jauh dariku. Benar saja, hujan turun sangat deras. Petir meggelegar saling bertautan. Sangat dingin, ditambah bajuku lumayan basah terkena jatuhan air hujan.
Aku menunggu hujan sendirian, ruko tempatku berteduh ini tutup. Tidak ada orang sama sekali. Jalananpun terlihat sangat sepi. Tiba-tiba saja sebuah sepeda motor berjalan kearahku, aku sangat takut. Aku takut orang itu akan berbuat jahat terhadapku, apalagi disini sangat sepi. Ketika orang itu sampai didepanku, menyetandartkan motornya, kemudian berlari kearahku. Segera aku bergeser menjauh. “Kok menjauh rin?” Kata orang itu sambil membuka helmnya, ternyata orang itu adalah Radit. “Hmm, aku kira siapa dit. Aku sudah takut saja.” Ucapku. “Tadinya aku mau langsung pulang, tapi aku melihat kamu sendirian disini, jadi aku berhenti dulu, takut kamu kenapa-kenap.” Seperti biasa, Radit pasti tersenyum setelah berbicara. “Makasih ya dit, sudah memperhatikanku.” Kataku kepada Radit sambil membalas senyumnya.
Sejenak aku dan Radit sama-sama terdiam. Kesenyapan menghantam kami berdua. Sementara riuh dentuman hujan seakan menghakimiku bersamaan dengan jutaan rasa yang datang tiba-tiba ini. Kini Radit sedang duduk bersebelahan denganku. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan dan apa yang aku katakan. Tidak seperti biasanya, biasanya aku selalu ada topik yang dibicarakan ketika bertemu dengan temanku. Tapi kenapa dengan Radit berbeda? Dibenakku tidak terfikir sedikitpun tentang apa yang ingin aku bicarakan. Yang aku rasakan hanya debaran jantung yang tidak menentu ini saja.
“Emm, dit, boleh tanya sesuatu gak?” Tku mencoba membuka pembicaraan.
“Iya rin, boleh ko. Kamu mau tanya apa?” jawab Radit sambil melihatku dan tak lupa dengan senyumnya yang manis.
“Apa si cinta itu dit?”
“Emm, cinta ya rin? Cinta apaan ya? Aku juga ga tahu rin. Aku tidak bisa mendefinisikan cinta itu apa dari dulu. Terlalu banyak juga definisi cinta menurut para penyair dan sastrawan. Mereka punya pendapat masing-masihng tentang cinta.”
“Contoh definisi cinta menurut para penyair sama sastrawan  itu?” Aku kembali bertanya.
“Banyak rin, contohnya kalau menurut Khalil Gibran Cinta mengarahkan manusia kepada Tuhannya karena cinta pulalah Tuhan mempertemukan manusia dengan manusia lainnya. Cinta sesungguhnya adalah cinta atas nama Tuhan yang termanifestasi kepada cinta lain terhadap Tuhan, seperti cinta kepada sesama, cinta terhadap keindahan, dan cinta-cinta lainnya.” kalau menurut Buya Hamka “cinta adalah perasaan yang mesti ada dalam diri manusia, seperti halnya setetes embun yang turun dari langit, bersih, dan suci. Hanya tanahnya saja yang berlainan menerimanya. Jadi, jika cinta jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlan kedustaan, kedurjanaan, dan perkara tercela. Namun jika ia jatuh pada tanah yang subur, muncullah kesucian hati, keihklasan, kesetiaan, dan perkara terpuji lainnya.” Ada lagi menurut Tere Liye Cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka makan gilau kepala ikan, suka mesin. Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut cinta. Kita beri dia porsi lebih penting, kita bersarkan, terus menggumpal membesar. Coba saja kau cuekin, kau lupakan, maka gumpal cinta itu juga dengan cepat layu seperti kau bosan makan gulai kepala ikan.” sedangkan menurut baginda Nabi kita Muhammad SAWcinta sejati adalah sesuatu yang membuat seseorang lebih suka berbicara dengan yang dicintai, lebih suka bersama dengan yang dicintai, dan lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibandingkan dengan kemauan orang lain atau dirinya sendiri.” Masih banyak lagi rin contohnya. Kalau aku kasih tau satu-satu bisa besok selesainya.”
“Ternyata kamu tau banyak ya tentang sastra dit.” Pujiku.
“Ahh, engga ko rin, aku cuma tau sedikit saja. Aku memang menyukai sastra.”
“Pantas saja kamu dengan mudahnya menjawab pertanyaanku.”
“Emm, ngomong-ngomong kenapa kamu bertanya hal seperti itu?” Kini giliran Radit yang bertanya kepadaku. Kini Radit tengah menatapku. Tatapannya sangat hangat. Dingin karena hujan ini seolah sirna tergilas tatapannya. Jantungku berdebar lebih kencang dan tak terarah. Aku hanya bisa mengalihkan padanganku ketika ia menatapku. Sesekali aku salah tingkah karena tatapannya itu. Apa yang tengah terjadi denganku? Perasaan aneh apa ini? Huhhh Radit, apa yang sudah kau lakukan terhadapku?
“Oh, engga ko dit, engga kenapa-kenapa. Emm, lalu apa ada tanda-tanda dit ketika kita sedang merasakan cinta?” Pertanyaan ini sengaja aku lontarkan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi denganku. Apakah ini cinta? Atau hanya kekaguman semata.
“Tentu ada rin, ketika kita sedang merasakan cinta terhadap seseorang, kita akan lebih peka akan kehadirannya disekeliling kita. Ketika kamu bertemu dengan orang itu, jantungmu akan berdebar lebih kencang dari biasanya. Kamu tidak akan tahu apa yang akan kamu lakukan ketika berada disampingnya. Yang kamu tahu hanya perasaan aneh sedang menerpa hatimu.” Dug. Suara petir tak segempar kata-kata yang dilontarkan Radit barusan. Apakah benar aku sedang jatuh cinta? Apakah benar aku jatuh cinta dengan orang yang baru saja kenal denganku? Aku terdiam sejenak. Memikirkan semua yang tengah kurasakan dan yang dikatakan Radit barusan. Tuhan, begitu Maha Agung engkau dengan jutaan rasamu yang tak kutahu maknanya.
“Eh rin, hujannya sudah reda. Ayo aku antar lkamu pulang.” Ucap Radit membuyarkan lamunanku.
Hujan malam itu sekan memberikan isyarat apa yang akan terjadi padaku. Langit malam yang gelap, dengan sedikit bintang yang muncul setelah hujan, menemaniku dengan Radit sepanjang perjalanan pulang.
***
Hari demi hari aku lewati dengan Radit. Kami semakin akrab dan semakin dekat. Banyak hal yang aku ketaahui sekarang tentang Radit. Simpul demi simpul senyum selalu terlihat diwajahku. Sedikit demi sedikit tumpukan rasa sayang mulai meninggi. Kenyamanan mulai bersandar dihatiku. Rasa ingin terus bersamanya, rasa ingin terus ada disampingnya menyelimuti setiap isi otakku. Tidak ada sedetikpun waktu yang kuhabiskan tanpa memikirkan Radit. Sihirnya kini mulai mengikatku juga hatiku. Membawaku berdansa dalam lantunan lagu indahnya. Mempersilahkanku untuk bertahta disinggahsana hatinya yang dipenuhi kasih sayang, kelembutan, perhatian, romantisme, dan masih banyak lagi jutaan keindahan yang Radit berikan untukkukku.
Sementara disisi lain, secara bersamaan Nugi menunjukan sikap yang berbeda terhadapku. Dia lebih ingin sering bertemu dari biasanya. Dia lebih memperhatikanku dari biasanya. Kini dia sering menanyakan kabarku, menanyakan aku sudah makan atau belum. Entahlah apa yang sedang terjadi dengan Nugi. Yang aku tahu sekarang, aku bahagia.
***
Malam ini aku akan mengutarakan perasanku terhadap Radit. Aku tidak perduli apapun anggapannya nanti tentangku yang mengutarakan perasaanku duluan. Aku tak bisa lagi menahan perasaan ini. Hati ini seakan menghujatku bila tidak mengutarakannya sekarang. Segera aku beranjak dari tempat tidurkuk untu bergegas dandan yang cantik malam ini. Aku mengenakan gaun berwarna merah dengan jaket levis agar tidak terlalu dingin. Rambutku ku gerai. Aku pernah mendengar dari Nugi, katanya Radit sangat suka dengan cewek yang rambutnya tergerai panjang. Aku perhatikan penampilanku dari ujung kaki sampai ujung rambut dikaca kamarku. Aku takut ada yang kurang dengan penampilanku. Aku ingin berpenampilan berbeda malam ini. Aku ingin tampil lebih cantik dari biasanya. Aku melakukan ini semua hanya untuk dia. Raditku.
Ketika aku hampir sampai dirumah Radit,  tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Aku berlari menuju rumah Radit. Untung saja rumah Radit sudah tidak jauh lagi. Tapi biarpun begitu, bajuku lumayan basah.
“Assalamu’alaikum” Ucapku sambil mengetuk pintu kemudian merapikan dandananku.
“Waalaikum salam” Jawab seorang laki-laki dari dalam. Ketika pintu itu terbuka, rupanya Radit.
“Arinda! Apa yang kamu lakukan malam-malam gini kerumahku? Main hujan-hujanan pula. Ayo masuk dulu, aku akan mengambilkan handuk untukmu.” Radit mempersilahkanku masuk.
“Nih handuknya. Kamu kayak anak kecil main hujan-hujanan. Terus canik banget lagi.” Ucap Radit sembari memberikanku handuk, tidak lupa dengan senyumannya yang penuh dengan sihir.
“Makasih dit.” Aku tertunduk malu ketika Radit memujiku.
“Ngomong-ngomong ada apa kerumah malam-malam gini? Ada hal penting ya yang mau kamu sampaikan?” Tanya Radit.
“Emm, gini dit, aku kesini mau ngomong sesuatu ke kamu.”
“Mau ngomong apa rin?”
“Emm, aku mau ngomong..” Ternyata mengutarakan perasaan tidak semudah yang aku bayangkan. Jantungku berdebar semakin kencang. Aku tidak bisa berkata apapun. Aku bingung untuk memulai dari mana. Ketika aku sedang memikirkan bagaimana mengungkapkan perasaanku, aku melihat hape Radit yang tergeletak di atas meja. Ketika hape itu menyala karena ada pesan masuk, terlihat foto Radit dengan seorang cewek.
“Itu foto kamu sama siapa dit?” Tanyaku.
“Oh ini, ini foto aku sama pacarku yang di Jakarta. Aku pacaran sama dia sudah hampir dua tahun.”  Dug, seketika hatiku hancur berantakan. Air mataku tak bisa kubendung. Perasaan senangku kini berganti dengan kehancuran dan sakit yang tidak tertahankan karena mendengar pernyataan Radit.
“Aku pulang ya dit.” Ucapku sambil menahan air mata yang sebentar lagi membanjiri kelopak mataku. Hatiku hancur laksana serpihan pecahan kaca yang tak jelas bentuknya.
“Ko pulang rin? Diluar kan masih hujan.” Radit mencoba mencegahku pulang.
“Engga dit, gapapa ko hujan juga.” Segera aku membuka pintu dan berlari kearah derasnya hujan.
Sepanjang perjalanan benih air mataku tak juga henti menetes. Aku berhenti sejenak dan bersandar di bawah cahaya lampu jalan. Kujatuhkan lututku kebumi. “Kenapa? Kenapa aku jatuh cinta dengan cowok yang sudah punya pacar? Kenapa aku tidak cari tahu dulu sebelumnya tentang Radit? Kenapa dengan mudahnya aku jatuh cinta kepada cowok itu. Kenapa? Kenapa aku harus dandan lebih cantik malam ini hanya untuk cowok yang sudah punya pacar? Kenapa aku harus mengutarakan perasaanku? Kenapaaa?”
 Kesedihanku tak bisa lagi kubendung.  Air mataku tak henti-hentinya menetes. Hatiku seakan ikut menangis meratapi kesedihanku yang tak juga membiru. Betapa hancurnya hatiku dan betapa tak terimanya hatiku akan kenyataan ini. Kenapa Radittt? Kenapa kamu terbangkan aku, kalau akhirnya kamu menghempaskan aku kembali kebumi? Kenapa kamu janjikan kebahagiaan dengan senyummu, kalau akhirnya kebahagiaan itu bukan untukku? Kenapa kamu membuat aku mencintaimu, kalau akhirnya kamu menyakitiku? Kenapa dit?  Jutaan pertanyaan bodong menyerbu hatiku yang tak menentu.
Hujan tak juga henti, seolah mewakili perasaanku yang kian kelam dan kelabu. Betapa sedihnya kisah cintaku. Pada hari itu, hujan meyakinkanku akan cintaku padamu. Dan malam ini, hujan juga yang meyakinkanku akan perihnya hati karena luka yang kau berikan.
***
Setelah kejadian malam itu, aku selalu terdiam dan larut dalam kesedihanku. Aku tidak lagi bertemu dengan Radit. Setelah malam itu, Radit seakan menghilang ditelan bumi. Dia tidak masuk sekolah selama seminggu. Setiap kali Nugi mengajakku kekantin, aku selalu tidak mau. Setiap kali Nugi mengajakku jalan untuk melepaskan perih hatiku, aku menolaknya. Hatiku terasa hampa. Seperti tidak ada cinta lagi dihatiku. Kini aku seperti tubuh tanpa jiwa. Kosong. Hanya itu yang aku rasakan.
***
Suatu malam, Nugi mengajakku ketaman. Entah mengapa kali ini aku ingin menuruti ajakan Nugi. Sesampainya ditaman, Nugi mengutaraka perasan cintanya terhadapku.
“Rin, aku sayang rin sama kamu, aku suka sama kamu dari pertama kali kita kenal dulu. Dari dulu aku ingin mengatakan ini, tapi aku selalu menundanya. Aku takut kalau aku mengutarakan perasaanku, akan menghancurkan persahabatan kita kalau nantinya kamu menolakku.”
Hatiku semakin tidak menentu. Kenapa setelah aku sudah tidak percaya akan cinta, Nugi malah datang membawakan cinta untukku. Aku tidak tahu apa yang tengah aku rasakan sekarang. Aku tidak bisa begitu saja menerima Nugi, karena di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, masih terselip nama Radit yang tak kunjung hilang.
“Maaf gi, sekarang aku belum bisa menerima cinta dari siapapun. Beri aku waktu untuk memikirkannya dulu.” Jawabku lirih sambil meneteskan airmata mengingat yang telah terjadi antara aku dengan Radit. Tiba-tiba saja Radit datang menghampiri aku dan Nugi. Kemudian Radit mengambil buku kecil yang selalu dibawa Nugi kemanapun dari kantung jaketnya. Lalu Radit membuka dan membacanya.
“Aku mencintai kamu Arinda, sejak pertama aku melihatmu. Aku mencintai semua yang ada pada dirimu. Kelembutanmu, senyummu, mata indahmu, juga hatimu. Aku bagaikan bunga yang kehilangan harumnya jika tanpamu. Aku mencintai kamu Arinda, seperti cinta sang senja kepada sang fajar yang selalu ingin bertemu meskipun tuhan tidak akan menyatukan mereka. Aku mencintai kamu Arinda, aku mencintai kekurangan dan kelebihanmu. Aku ingin setiap pagi hari hanya senyummu yang menyapaku. Aku ingin hanya kelembutanmu yang mampu menenagkanku. Aku ingin hanya kamu yang menjadi tempatku mengadu keresahan, kesedihan, dan kebahagianku Arinda. Dan aku hanya ingin, kamu yang memelukku ketika aku membutuhkan sandaran dalam gelapku. Aku sangat, sangat mencintaimu Arind. Kemarin, saat ini, esok dan selamanya.” Itulah kata-kata yang tertulis dalam buku ini.” Ujar Radit kemudian mengembalikan buku itu kepada Nugi. Setelah itu Radit pergi.
“Apa benar yang tertulis dibuku itu gi?” Tanyaku sambil meneteskan air mata.
“Aku akan menunggu jawabanmu 3 hari lagi. Disini, ditempat yang sama ini.” Jawab Nugi.
Malam ini berakhir dengan perasaanku yang tidak terarah. Disatu sisi ada Nugi yang mencintaiku dengan tulus setelah mendengar kata-kata yang dibacakan Radit dari bukunya. Disisi lain, direlung hatiku yang paling dalam , aku masih mengharapkan Radit. Aku tidak bisa begitu saja menepis perasaanku terhadap Radit. Lalu apa jawabanku nanti, tiga hari lagi?
***
Sekarang adalah malam dimana aku harus menjawab pertanyaan dari Nugi untuk menerima hatinya atau tidak. Samapai sekarang aku tidak tahu aku harus menjawab apa. Apa aku harus menerima Nugi? Tapi aku tidak mencintainya. Yang aku cintai Radit. Apa aku harus menolaknya? Sedangkan Nugi sudah tulus mencintaiku. Dan berharap Radit menjadi pacarku itu tidak akan mungkin, karena Radit sudah mempunyai pacar di Jakarta. Sepanjang perjalanan otakku selalu berseteru dengan hatiku. Logikaku meminta untuk menerima Nugi yang sudah tulus mencintaiku. Tetapi hatiku memintaku untuk menolaknya, agar bertahan dengan cintaku untuk Radit meskipun dia sudah menyakitiku.
Aku sudah sampai ditaman. Entah ada apa Radit juga bersamaan datangnya denganku.
“Arinda? Kamu ngapain kesini?” Tanya Radit.
“Aku memang sudah janjian dengan Nugi disini. Sedangkan kamu? Kenapa kamu kesini?” Sekarang aku yang bertanya kepada Radit.
“Aku kesini disuruh Nugi. Ada apa ini sebenarnya?” Tak berapa lama kemudian datanglah Nugi.
“Ini semua rencana aku. Aku sengaja mempertemukan kalian malam ini untuk menyelesaikan semuanya.” Ucap Nugi.
“Arinda, dengerin aku. Radit itu sebenarnya sayang juga sama kamu. Kamu inget gak dulu kamu ketabrak sama cowok yang gak kamu kenal. Itu Radit, sebenarnya dia ingin minta maaf sama kamu, tapi karena terburu-buru dan sudah ditunggu oleh kepala sekolah, jadinya dia langsung meninggalkanmu. Kamu masih inget bunga yang di laci meja kamu? Dan kata-kata manis itu? Itu Radit yang memberikan. Dan kamu masih inget gak waktu dia minjamkan buku tugsanya buat kamu, sampai-sampai dia terkena hukuman? Itu semua dia lakukan buat kamu Arinda, karena dia suka sama kamu rin, sejak pertama kali dia melihatihatmu dalam insiden tabrakan kamu dengan dia. Waktu kamu sendirian hujan-hujan pulang sekolah, sebenarnya dia bukan tidak sengaja lewat, tetapi dia mengikuti kamu. Dia tahu akan turun hujan, dia takut kamu pulang kenapa-kenapa. Dia Khawatir rin sama kamu. Lalu tentang saat aku mengutarakan perasaanku, kemudian Radit datang dan membacakan tulisan dalam buku privasiku, itu semua sebenarnya ungkapan perasaan Radit untukmu rin, buku itu masih kosong. Aku belum menulis satu huruf pun di buku itu. Buku itu baru. Dan kalau kamu mau tahu, yang paling penting dari semua ini, tentang foto itu kan? Itu foto adiknya yang di Jakarta. Radit punya adik yang umurnya hanya terpaut satu tahun dibawahnya.” Setelah mendengar pernyataan Nugi, aku melihat Radit, Raditpun melihatku. Tatapan kami saling bertemu. Aku meneteskan air mata, tanpa kusangka-sangka Raditpun menangis. Mungkin kedua hati kami memang telah menyatu.
“Kalau memang itu semua benar, lalu kenapa Radit mengaku itu pacarnya dan menyakiti hatiku? Kamu gak tahu kan gi, betapa sakitnya aku saat itu?” Air mataku terus menetes sambil berbicara kepada Nugi. Sedangkan Radit hanya diam dan tertunduk tanpa satu katapun keluar dari mulutnya.
“Sebenarnya Radit juga merasakan hal yang sama sama kamu rin, rasa sakit yang teramat dalam. Radit melakukan itu semua untukku. Sehari sebelum kamu kerumah Radit malam itu, Radit membaca buku privasiku. Dari situ Radit mengetahui kalau aku menykaimu. Radit sangat menghargaiku sebagai temannya. Meskipun kita baru kenal, Radit sudah menganggapku sebagi sahabatnya, jadi dia ingin melihat sahabatnya bahagia, meskipun harus mengorbankan hati dan perasaanya. Mengorbankan cinta sucinya. Setelah kejadian malam itu, aku fikir aku bisa dengan mudah menggantikan Radit dari hatimu, ternyata aku salah. Cintamu terhadap Radit sangat besar, bahkan melibihi cintaku terhadapmu. Maafkan aku sudah mengganggu cinta suci kalian. Maakan aku sudah menjadi duri dirangkaian bunga yang tengah kalian buat ini.” Kemudian  Nugi menggenggam tanganku dan Radit, lalu menyatukan tanganku dengan Radit.
“Aku memang mencintaimu rin, tapi cinta Radit terhadapmu melebihi cintaku padamu. Semoga kalian bahagia, dan maafkan aku.” Ucap Nugi kemudian meninggalkan kami berdua.
Kini aku tinggal berdua dengan Radit, saling bertatapan dan meneteskan air mata. Hujan kembali turun dengan derasnya membasahi aku dan Radit. Lalu aku memeluk Radit.
“Dasar bodoh! Kenapa kamu lakukan itu? Kenapa kamu korbankan perasaan kamu?” Kataku sambil menangis dan memukul-mukul dada Radit. Kemudian Radit melepaskan pelukannya. Lalu Radit memegang pipiku erat sambil menatapku.
“Maafkan aku Arinda, aku fikir hanya aku yang akan terluka, ternyata hatimu juga. Maafkan aku telah melukai perasanmu malam itu. Aku sangat mecintaimu Arinda, sangat.” Ucap Radit sambil kembali memelukku.
“Aku juga mencintaimu Raditku.” Kueratkan pelukanku.
Teruslah hujan ini membasahi. Biarkan para bunga, pohon, angin dan semua yang ada disekalilingku dan Radit menjadi saksi kisah cinta kita. Biarpun malam tanpa bintang, Radit akan menjadi bintangku dan menerang setiap malamku. Biarpun hantaman keresahan hidup akan menyentuhku nanti, aku tidak takut sedikitpun, karena disampingku akan selalu ada Radit yang siap kapanpun menjadikan bahunya tempatku bersandar.

Pamulang, 28 Oktober 2014.

GESANG AJI SAKA