Monday, 24 November 2014

REMBULAN




Gelap.. tenggelam terlelap.
Resah bersemayam mendekap.
Sketsa wajah yang terus hinggap.
Menghiasi jiwa, berkerak tak terungkap.

Cerita.. cita dalam cinta.
Menjunjung mimpi tak tercipta.
Berhias asa berbalut doa.
Berjalan selaras bahagia  dan luka.

Bersenandung kerinduan.
Melodi hati penuh jeritan.
Terbias senyum kehampaan.
Melamunkanmu duhai pujaan.

Lelah..
Letih..
Resah..
Gelisah..

Senja telah berada pada peraduannya.
Tinggalkan aku dengan balutan luka.
Mengharapkanmu mendekap jiwa.
Namun, kau tak juga merasa.

Thursday, 13 November 2014

KEHILANGAN MAKNANYA

Semakin ragu, rasa ini semakin membelenggu.
Kembali kutanyakan hatiku tentang dia yang menemani hariku.
Helaian benang tipis semakin menjauh.
Sudah tak bisa lagi menyatukan tiap butiran hati yang jatuh.
Gelegar awan kelabu bertahta rapih dalam setiap sudut hati.
Saling membenci, mereka sibuk dengan titah-titah yang tak kutau maknanya.
Sementara disudut sepi, kebahagiaan meringkuk lemas tak berdaya.
Seolah menanggalkan sayapnya dan kehilangan maknanya.
kepercayaan tak begitu baik pula kabarnya, dari kejauhan melihat kebahagiaan tertunduk lesu, kepercayaanpun ikut terluka sambil terus berdoa. berharap sang Tuhan menampakkan sinarnya.
Kini tiap ruas-ruas hati telah tertutupi oleh keheningan.
Tiap sendi-sendi rasa telah ternoda dengan keraguan.
Tak ada lagi tempat tersisa untuk kebahagiaan dan kepercayaan.
Mereka hanya bisa berbicara dalam diam, dan berharap dalam doa.

PERI KECIL



PERI KECIL
            Aku hanya bisa duduk bersandar di jendela kamarku sambil melihat derasnya hujan. Air mataku terus mengalir, mengingat sosok cowok yang selalu menjadi pennyanggah hatiku. Aku selalu mengingat masa itu. Masa dimana kebahagiaanku mencapai puncaknya. Masa dimana aku tidak pernah takut karena ada dia. Elang. Itulah nama cowok yang kini sedang aku tangisi keberadaanya. Disaat rapuh seperti ini aku selalu mengingat Elang. Saat kegelisahan dan tekanan akan takdir pahit yang terus menggelayutiku selalu mengingatkanku kepada Elang. Karena pada saat seperti ini dulu Elang selalu menyiapkan bahunya untuk tempatku bersandar. Kuluapkan semua kesedihanku dibahunya yang kokoh. Ketika aku sudah berada disampinya , aku sudah tidak merasa takut lagi akan apapun. Keresahanku pun ikut terbang menjauh. Elang selalu bisa memberikan kenyamanan untukku ketika aku sedang berada didekatnya.
            Air mataku mengalir sederas hujan dimalam ini. Kesedihanku sudah tidak bisa kubendung lagi. Aku hanya bisa bersandar, menekuk kedua kakiku sambil menangisi Elang yang kini tidak ada disampingku.
            Elang, kamu dimana? Saat ini, aku sangat membutuhkan dekapan hangatmu. Aku butuh bahu kokohmu untuk melepaskan kesedihkuu. Aku membutuhkan tutur kata lembutmu yang menenangkan hatiku. Aku merindukan kamu yang selalu mengelus kepalaku ketika aku tengah bersadar dibahumu sambil menangis. Aku merindukan kecupanmu dikedua mataku setelah kau mengapus airmataku. Aku rindu senyumanmu. Aku teramat lemah sekarang tanpa kamu Elang. Aku terlalu rapuh untuk menjalani ujian hidup yang keras ini. Aku sangat merindukanmu. Dimana kamu sekarang Elang?
Hatiku terus menjerit tentang kerinduan. Rintihan hati yang sangat merindukan dekapan sosok cowok yang sangat aku cintai. Derai air mata menjadi saksi bisu betapa aku sangat membutuhkanmu saat ini. Dengan jutaan harapan semoga kamu merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Tolong dengar teriakan kesedihanku ini Elang dimana pun kamu berada.
            ( Hapeku berbunyi, satu pesan singkat masuk. Dari Adrian)
            “Sayang, besok sepulang sekolah kita jalan ya.” Pesan itu membuyarkan semua lamunan tentang kerinduanku kepada Elang.  Adrian adalah pacarku sekarang. Aku sudah pacaran dengan Adrian hampir enam bulan. Sebenarnya aku sangat tidak mau tuterus-terusan memikirkan Elang karena saat ini aku sudah punya Adrian, tapi aku tidak bisa begitu saja menghapuskan nama Elang dari hatiku. Ditambah otakku ini dipenuhi dengan kenangan-kenangan indahku dulu sewaktu masih bersama Elang. Disaat seperti ini otak dan hatiku selalu bertentangan. Aku sangat bingung. Disatu sisi aku tidak bisa melupakan Elang, aku ingin kembali kepadanya. Tapi disisi lain aku selalu mengingat kejadian malam itu, ketika Elang memutuskanku begitu saja tanpa sebab setelah perjalanan cinta kami yang hampir dua tahun. Aku masih ingat betapa sakitnya aku waktu itu. Dan aku takut terulang kembali sakit itu kalau nantinya aku kembali kepada Elang. Sementara disisi yang lainnya lagi aku merasa tak enak hati dengan Adrian. Karena selama ini aku tidak sepenuhnya mencintainya. Sebagian hatiku sudah milik Elang seorang.
            Aku sangat membenci saat seperti ini. Kebimbangan yang kian erat menggelayutiku. Kadang aku berfikir untuk segera meninggalkan Adrian dan kembali kepada Elang. Setiap kali aku memikirkan hal itu, selalu saja terlintas bayang-bayang luka yang Elang pernah berikan kepadaku.  Sedangakan aku tidak terlalu bahagia dengan Adrian, diotakku dipenuhi dengan nama Elang setiap harinya. Tapi Adrian sangat baik dan sabar menghadapiku. Meskipun dulu Elang juga sama seperti Adrian sabar dan baiknnya, bahkan Elang lebih dari Adrian. Itu adalah alasanku kenapa aku tidak mau menyakiti Adrian sampai saat ini. Sudahlah, cukup, aku sudah tidak kuat dengan perdebatan dalam hatiku. Lebih baik aku beranjak tidur.
            ***
            Keesokan harinya sepulang sekolah Adrian sudah menungguku didean gerbang. Bergegas aku menghampirinya. “Kita mau kemana ian?” Tanyaku. “Kamu ikut ajaa sama aku, nanti juga tau.” Jawab Adrian. Kemudian kami pun beranjak pergi..
Sepanjang perjalanaan aku hanya terdiam, seolah tidak menikmati perjalanan ini. Padahal aku sedang jalan dengan pacarku sendiri, tapi kenapa aku tidak menikmatinya. “Kamu kenapa Senja? Kamu sakit yah? Kalau kamu sedang tidak enak badaan, kita pulang saja, tidak apa-apaa ko.” Ucap Adrian mengkhawaatirkanku. “Oh, engga ko ian, aku ga kenapa-kenapa.” Jawaabku sambil terenyum palsu.
            Kami telah sampai disuatu tempat rekreasi. “Rasanya aku tidak asing dengan tempat ini.” Gumamku dalam hati. “Ayo ikut aku, kita naik bebek-bebekan. Kamu pasti suka.” Adrian kemudian menarik tanganku menuju loket tiket. Ketik aku melihat sekeliling danau rekreasi ini seketika hatiku terasa sakit. Kesedihan dengan cepatnya menggelayutiku. Aku ingat tempat ini, ini adalah tempat yang pernah aku datangi dengan Elang dulu. Saat itu aku sedang sedih karena dimarahi oleh mamahku. Kemudian Elang mengajakku ketempat ini. Disini Elang mengembalikan senyumku yang sempat hilang ditelan kesedihan. Kami saling bercanda selama diatas bebek-bebekan. Kami berfoto bersama. Aku mencurahkan isi hatiku kalau aku saangat takut kehilangan Elang. Tanpa kusadari air mataku menetes membasahi pipiku. Adrian yang melihatku menangis langsung bertanya ada apa denganku. “Kamu gapapa Senja?” Segera kuusap air mataku, kemudian aku tersenyum kepada Adrian. Aku sangat takut kalau Adrian tau aku sedang memikirkan Elang sekarang. “Iyah aku gapapa ko ian.” Ucapku.
            ***
             Hari sudah mulai sore, aku dan Adrian pun berajak pulang. Sepanjang perjalanan aku selalu melihat Adrian. “Maafin aku ian, aku belum bisa mencintai kamu seutuhnya. Maafin aku kalau selama ini kamu berdiri dibelakang bayang-bayang Elang yang tak bisa lepas dari ingatanku. Kalau saja kamu bisa melebihi Elang dalam hal apapun, aku pasti bisa dengan mudahnya melupakan Elang. Aku bukan bermaksud untuk menuntutmu menjadi yang lebih baik dari Elang. Aku juga tahu, hal yang ada pada Elang belum tentu ada di kamu, begitu juga sebaliknya. Aku tidak berani berjanji kepadamu kalau nantinya aku bisa mencintai kamu dengan tulus. Tapi aku akan berusaha melakukan itu untukmu. Dan kalaupun nantinya aku tidak bisa mencintai kamu dengan sepenuhnya, aku mohon pengertian kamu.” Hatiku terus berucap sendiri. Kucoba menahan air mataku. Aku merasakan kegundahan yang teramat besar. Aku sangat bingung saat ini. Ditambah masalah yang sedang aku hadapi dirumah. Hmm, Tuhan, begitu lelahnya aku dengan cobaanmu ini.
            ***
            Sesampainya aku dirumah, sebelum masuk kedalam, kucoba menarik panjang nafasku. Setelah aku sudah merasa sedikit tenang dan siap, kulangkahkan kakiku untuk membuka pintu. “Kamu kemana saja Senja baru pulang jam segini? Main mulu!” Sambutan yang sangat hangat dari mamah. “Aku abis jalan mah, maaf kalau aku pulangnya telat.” Jawabku lirih. “Kamu tuh ya males banget. Ga ada bantu-bantunya sama sekali. Kamu ga tau apa kalau mamah tuh cape kerja sendirian. Sudah cape bekerja diluar buat sekolah kamu sama adik-adik kamu. Dirumah juga cape karena kamu ga ada bantu-bantunya sama sekali!” Ucap mamah. “Kenapa si mah aku selalu dimarah-marahin? Aku bantu-bantu ko dirumah, nyuci piring, nyuci baju dan lain-lain. Tapi mamah ga pernah ngehargain aku. Mamah Cuma bisa ngelampiasin emosi mamah yang harusnya buat papah malah ke aku!” Kemudian aku berlari menuju kamarku dan mengunci pintu.
            Aku menangis tersedu diatas kasur sambil memeluk boneka Timi Time yang diberikan oleh Elang. “Elang kamu dimana? Aku sangat butuh kamu sekarang. Aku sudah tidak kuat lang dengan semua ini.” Kuucap kata itu sambil tersedu-sedu. Dalam hal ini hanya Elang yang bisa membuatku tenang. Elang paling tau semua tentangku, termasuk tentang keluargaku yang broken home. Mamah dan papahku sudah berpisah sejak lama. Dulu setiap kali aku merasa sendirian dan tidak ada yang perduli lagi terhadapku, aku selalu menceritakan kepada Elang. Setelah aku bercerita dengan Elang, aku merasa lebih lega dan nyaman karena kata-kata Elang.
            Diluar hujan sangat lebat. Langit terlihat sangat hitam. Petirpun sesekali megelegar dengan kejamnya. Aku sudah tidak tahan dengan kondisi ini. Rasanya aku ingin pergi saja dari rumah. Kemudian aku keluar dari kamar sambil menangis. Ketika sudah sampai didepan pintu, mamah bertnya kepadaku. “Kamu mau kemana Senja hujan-hujan seperti ini? Kamu ga boleh keluar, diluar hujannya sangat lebat.” “Sebentar saja mah, aku pusing dirumah.” Jawabku sambil berlari meninggalkan mamah yang kulihat tengah menangis. Mungkin mamah mengerti apa maksud dari kata-kataku tadi.
            Aku kini tengah berada dibawah lampu jalan. Hujan kian deras membasahi tubuhku dan hatiku. Kujatuhkan lututku kebumi. Isak tangisku tak juga reda. Aku tengah berada dalam keresahan yang paling gelap. Tak ada cahaya sedikitpun. Cahaya yang kuharap berada disampingku, tak juga muncul hingga saat ini. Aku berteriak ditengah derasnya hujan yang seolah menhakimiku. “Tuhan? Kenapa begitu berat jalan takdirmu? Kenapa kau bebankan aku dengan penderitaan yang tak kusanggup menopangnya sendiri? Aku siap dengan takdirmu ini, tapi kenapa kau biarkan pergi orang yang sangat berharga bagiku? Orang yang hanya dari dia aku merasakan kasih sayang yang tak kudapatkan dari kedua orang tuaku! Kenapa kau biarkan penyanggah kehidupanku berlalu mengilang meninggalkanku sendiri Tuhan? Aku tak sanggup berdiri sediri tanpa tiang penyanggah. Untuk saat ini mungkin aku kuat bertahan, tapi nanti? Suatu saat nanti aku pasti akan runtuh! Sementara, malaikat yang kau kirim untuk menolongku, kini entah berada dimana. Aku sangat merindukan dia Tuhan! Aku sangat merindukan Elang!” Aku sudah tidak tahu apa yang terjadi denganku. Yang aku tahu kini aku sedang teramat sedih dengan takdirku. Aku sudah lelah menangis, lelah menangisi Elang, lelah menangisi tentang keluargaku, lelah akan semuanya. Sampai tiba-tiba. “Aku ada disini ko peri kecil. Aku selalu ada didekat kamu, tepanya didalam hati kamu. Kamu gaperlu protes sekeras itu kepada Tuhan. Seharusnya kamu bersyukur dan terus tersenyum. Soalnya kalau kamu cemberut nanti manisnya hilang. Hehehe.” Aku mengenal suara itu. Aku mengenal kata-kata itu. Jangan-jangan, Elang! Ketika aku menoleh keatas, Elang tengah memayungiku dan berdiri disampingku sambil tersenyum.
            Kesedihanku berganti dengan rasa haru. Air mataku terus menetes sambil menatap Elang dengan perlahan. Elang masih terus saja tersenyum kearahku. Tanpa kusadari tubuhku langsung menjatuhkan diri kedekapannya Elang. Kupeluk dia dengan erat dan penuh cinta. Aku semakin tersedu-sedu dipelukan Elang. Elang terus saja mengelus-elus kepalaku. Sangat nyaman dekapannya. Aku sangat merindukan dekapan ini. Dekapan yang sudah tidak kurasakan lagi selama enam bulan. Kehangatannya masih sama. Kelebutannya masih sama. Dan rasa cinta dari dekapan inipun masih sama.
            “Kamu kemana aja lang? Aku kangen banget lang sama kamu. Aku butuh kamu. Kamu memangnya tidak kangen sama aku? Kamu sudah tidak sayang ya sama aku sampai kamu menghilang dari aku.” Karena terlalu rindu dan bahagianya aku langsung saja aku sambut Elang dengan banyak pertanyaan.
            “Aku ga kemana-mana ko Senja. Aku ada disini, selalu memperhatikan kamu. Aku tau semua yang terjadi sama kamu. Jawab Elang masih dengan eratnya mendekapku.
            “Aku kangen sama kamu lang, kangen kita yang dulu, kangen kamu yang selalu ada buat aku, kangen semua cerita lucu kamu, kangen senyum kamu, kangen semuanya yang ada dikamu.” Kuluapkan semua kebahagiaanku kepada Elang. Seketika kesedihanku hilang entah kemana setelah bertemu dengan Elang. Setelah sekian lama aku berdoa agar dipertemukan dengan Elang, akhirnya tuhan mengabulkan doaku.
            “Sekarang kita cari tempat berteduh, kamu pasti sudah kedinginan karena main hujanan kan.” Ucap Elang sambil melepaskan pelukannya kemudian mengajakku kesuatu tempat.
            Elang mengajakku kesebuah minimarket yang sudah tutup, mungkin karena hujan dan sudah malam jadi mini market ini tutup. Aku dan Elang duduk disebuah bangku panjang. “Nih kamu pake jaket aku, kamu pasti kedinginan kan soalnya baju kamu basah banget tuh.” Ucap Elaang. Kemudian aku mengenakan jaket itu sambil bersandar di bahu Elang. Hatiku begitu tenang dan nyaman ketika bersandar dibahunya Elang. Sihir Elang dengan cepatnya mebuat aku merasa sangat hangat.
            “Kamu tau kalau aku sangat merindukanmu lang?” Tanyaku.
            “Iyah aku tau.” Elang tersenyum.
            “Kamu tau betapa rapuhnya aku tanpa kamu lang?” Hatiku kembali meringis dan membuatku kembali menangis. Elang hanya tersenyum. Dulu senyum itu selalu menghiasi hariku. Membut malamku penuh dengan bintang, mimpiku selalu indah, dan selalu tidak sabar untuk bertemu dengan Elang.
            “Kenapa lang dulu kamu mutusin aku tanpa sebab? Kalau seandainya kita engga putus dulu, mungkin sampai saat ini aku selalu tersenyum. Kamu gatau kan lang gimana sakitnya aku waktu itu? Kamu gatau kan lang gimana menderitanya aku tanpa kamu? Kamu gataukan kalau selama ini aku Cuma jasad tanpa nyawa setelah pisah sama kamu? Aku ga bisa mencintai cowok denga tulus, karena cinta aku sudah aku berikan buat kamu semua lang. tapi kenapa kamu kecewain aku lang?” Aku terus berbicara kepada Elang. Kembali kupeluk Elang dengan eratnya. Kuluarkan semua kerinduanku dan kelukesahku dipundaknya. Malam ini tak henti-hentinya aku menangis, tapi untuk momen yang satu ini aku menangis karena bahagia bisa bertemu dan memeluk Elang.
            “Itu semua memang salah aku Senja. Aku minta maaf sudah menyakiti kamu. Maafin aku yang sudah menyia-nyiakan cinta tulus kamu.” Tengisku semakin jadi mendengar kata-kata Elang.
            “Kamu tau kan lang kalau aku tuh sayang banget sama kamu? Tapi kenapa kamu pergi lang.” Deru tangisku tak juga membiru. Semakin sedih mungkin yang kurasa saat ini.
            “Maafin aku Senja kalau aku belum bisa jadi yang kamu mau.”
            “Kamu gatau kan sekaarang aku kayak gimana? Setiap hari aku menangisi kamu lang, berharap kamu kembali buat aku. Aku sedih lang, biasanya kalau aku ada masalah sama keluargaku kamu selalu ada untukku, membuatku kembali tersenyum dan membuatku nyaman. Aku sedih lang sekarang kamu udah ga ada disamping aku buat ngejagain aku. Aku sdih lang sekarang udah ga ada lagi pundak kamu buat aku jadiin makam pedih aku lang. aku sedih lang kamu pergi. Kenapa kamu pergi lang.” Kulepaska pelukanku dari Elang. kemudian aku menatap mata Elang. Elang hanya diam tidak membalas pertanyaanku.
            “Kenapa kamu nyakitin aku lang? Kenapa kamu ninggalin aku lang? Sekarang aku mau kamu balik sama aku, aku gamau kehilangan kamu buat yang kedua kalinya lang.” Kujatuhkan kepalaku di dada Elang. Air mataku membasahi baju Elang.
            “Aku minta maaf Senja, waktu itu aku memang sangat bodoh telah meninggalkan kamu. Aku juga sayang banget sama kamu Senja, tapi kita ga bisa bersatu sekarang. Kamu masih punya Adrian.” Elang memegang kedua pipiku dan mengapus air mataku.
            “Aku gamau Adrian, aku maunya kamu lang.”
            “Engga Senja, itu Cuma perasaan ego sesaat kamu aja. Aku tau kamu ga bisa mutusin Adrian kan? Dan aku tau sebenarnya kamu masih taku kalau nantinya aku akan nyakitin dan ninggalin kamu lagi. Sekarang dengerin aku. Kamu sama Adrian dulu, biarin aku disini menikmanti sakit dan penyesalan yang udah aku buat sendiri. Biarin aku merasakan sakit yang kamu rasakan dulu lewat kamu sama Adrian. Aku ga akan kemana-mana, aku akan selalu ada disini buat nunggu kamu, sampai saatnya nanti. Saat kau sudah percaya lagi sama aku, saat kamu sudah tidak memperdulikan rasa sakit yang aku buat.” Aku terdiam mendengar kata-kata Elang. aku melihat Elang menangisiku malam ini.  Kami kini saling menatap, air mata dengan lihainya berlinang dimataku dan dimata Elang. Aku terharu melihat Elang menangisiku. Sangat terlihat jelas betapa Elang mencintaiku. Aku bahagia karena Elang merasakan hal yang sama denganku.
            “Kamu janji bakal nunggu aku?” Tanyaku sedih.
            “Iyah aku janji peri kecilku.” Elang menghapus air mataku kemudian mencium kedua mataku.
            Aku menghabiskan malam bersama Elang. Mungkin ini akan menjadi malam terakhirku bertemu dengan Elang. Kami saling melepaskan rindu selepas-lepasnya. Dengan hembusan angin malam sehabis hujan yang menyelimuti kami. Suasanan tenang dan penuh cinta ini akan aku nikmati dan aku ingat sampai nanti aku dipertemukan kembali dengan Elang. aku berharap perpisahan ini akan jadi perpisahan terakhirku dengaan Elang. dan saat kami dipertemukan kembali nanti, tidak aka nada lagi perpisahan diantara kami.
            ***
            Sesampainya aku dirumah aku melihat mamah sudah menungguku didepan pintu. Kemudian aku menghampirinya. “Maafin mamah ya Senja. Mamah memang sudah keterlaluan. Kamu mau kan maafin mamah?” Ucap mamah sambil menangis. “Pasti mah, aku pasti maafin mamah. Maafin aku juga ya mah belum bisa jadi anak yang baik buat mamah.” Kuhamburkan tubuhku dipelukan mamah. Isak tangisku dan mamah membias mala mini menjadi lebih indah. terlebih aku mengahabiskan malam ini dengan Elang.
            Sebelum Elang pergi, ia memberika sebuah surat untukku. Aku segera membukanya dikamar sambil merebahkan tubuhku. “Untuk Senja peri kecilku. Jangan pernah bersedih dan mengeluh tentang takdir tuhan. Kamu pasti bisa untuk melewati semua itu. Ketika kamu sudah merasa dipuncak kekuatanmu, segera kamu temui aku untuk melepaskan kesedihanmu. Aku selalu menunggu kedatanganmu. Maafkan aku kerena telah mengecewakanmu. Sekarang cobalah untuk mencintai Adrian dengan sepenuhnya cintamu. Biarpun aku tau, baying-bayangku tak akan hilang dari hatimu. Dan ingat, suatu saat Tuhan akan menyatukan kita kembali. Saat ini aku ikhlaskan kamu untuk Adrian. Tapi nanti, untuk sisa hidupku dan hidupmu, aku berharap saat itu dalah saatnya aku dan kamu memadu kasih untuk selamanya. Aku sangat mencintaimu dan tidak ingin kehilanganmu lagi. Aku menunggumu sampai saatnya tiba nanti, sambil menikmati penyesalanku. Maafkan aku.
                                                                                                 Elang.
            Aku menangis membaca isi surat itu. Kembali teringat semua kenangan manis yang sudah aku lewati bersama Elang. Air mataku berlinang tak terurai. Aku berjanji Elang, suatu saat nanti kita akan dipertemukan, dan kita akan menghabiskan sisa hidup kita bersama. Aku juga sangat mencintaimu Elangku.


            SUATU MALAM, KETIKA AKU TENGAH MERINDUKAN SESEORANG.
            GESANG AJI SAKA.

Tuesday, 4 November 2014

TENTANG RASA

Pergi.. Biarkanlah ia berlari, semua resah dan benci yang bersemayam dalam hati.
Hilang.. Biarkanlah ia menghilang, semua kegelisahan dan kegundahan hingga pagi datang.
Menjauh.. Biarkanlah ia menjauh, semua rasa egois itu ketempat yang sangat jauh.

Datang.. Datanglah kembali, datanglah semua kebahagiaan dan kesenangan dalam diri.
Hinggap.. Hinggaplah lagi, jutaan senyum yang waktu lalu telah lenyap.
Mendekat.. Mendekatlah lagi, duhai dekapan dan kehangatan yang kurasakan sangat singkat.

Berlalu.. Berlalulah engkau rasa sakit serta derita hingga menjadi abu. Biarkanlah aku merasakan lagi masa itu, masa dimana sepasang hati yang selalu menyatu.
Biarkanlah diri ini merasakan lagi dan menikmati lagi setiap tetesan cinta yang selalu menemani. hingga saat nanti, saat sepasang hati tak lagi saling mencintai.

Tuesday, 28 October 2014

KEBAHAGIAAN?

            Kebahaagiaan? Apa sih kebahagiaan itu? Kapan kebahagiaan itu datang? Dari mana asalnya kebahagiaan itu? Apa kebahagiaan datang seiringan dengan kenyamanan? Terus, kenapa sampai sekarang aku belum merasakan yang namanya kenyamanan? Dan yang paling penting, sampai sekarang aku belum dapat yang namanya kebahagiaan.
Apa dari tampang? Status sosial seseorang? Atau mungkin, dari tingkat keterkenalan seseorang dikalangan teman-temannya? Tapi kenapa aku tidak dapat kebahagiaan itu dari Dika? Kurang apa coba Dika. Ganteng, keren, anak band pula. Dia juga termasuk salah satu anak terkenal di sekolah. Percintaan aku sama Dika cuma bertahan tiga bulan. Awalnya aku seneng banget, karena bisa pacaran sama salah satu anak eksis di sekolah. Soalnya banyak keutungan yang aku dapat. Salahsatu keuntungan yang aku dapat dari  jadian sama Dika, aku jadi bisa ikutan esksis disekolah. Banyak yang kenal aku, karna aku pacarnya Dika. Terus juga, jadi banyak yang iri sama aku. Jelas saja pada iri, Dika kan pujaan cewek-cewek genit di sekolah, karena kegantengan dan ke-eksiannya.
Biarpun Dika cowok idaman kaum hawa di sekolahku, Dika tidak bisa membuatku nyaman ketika aku berada disampingnya. Dia terlalu kaku ketika sedang berada di dekatku. Bercandaannya juga kadang suka gak lucu. Tapi karena aku menghargai dia, jadi yaa terpaksa aku ikutan ketawa. Dika termasuk laki-laki yang suka berbohong. Kadang dia selalu beralasan mengatar ibunya ke mall, padahal malah nongkrong sama teman-temannya. Aku sangat tidak suka dibohongi. Sebab itu aku merasa tidak nyaman dengan dika.
 ( Tiba-Tiba hapeku berbunyi, satu pesan singkat masuk) sebentar, aku liat hape dulu.
“Nila pasti lagi bete yah? Jangan cembrut gitu dong, nanti manisnya hilang loh” Apaan sih nih si Farizan ga jelas banget kirim sms kayak gitu. Farizan itu temen sekelas aku. Dia anaknya super aktif. Selalu ketawa. Kayaknya ga ada beban gitu dihidupnya. Kalau aku lagi bete atau lagi cemberut, dia paling senang meledeki aku dengan kata-kata yang sama persis di sms itu. Terkadang aku suka ilfil sama kelakuannya yang suka ga jelas itu, tapi kadang juga kalo aku lagi suntuk karena tidak ada guru masuk, aku terhibur banget sama tingkahnya yang super konyol. Lohhhhh!!!! Ko jadi bahas si Farizan yang ga jelas itu siii! Balik lagi ke masalah aku dengan kebahagiaan.
            Aku juga pernah punya pacar namanya Nico. Dia salah satu anak eksis juga di sekolahnya. Memang sih gak seganteng Dika, tapi Nico itu jago banget main futsalnya. Mungkin itu yang membuat aku suka sama dia. Siapa coba yang gak mau sama anak futsal? Pasti ada ko yang gak mau. Hihihi. Aku suka sama Nico yaa karena aku memang seneng sama cowok yang jago main futsal. Hmm, kayaknya mantanku gak jauh-jauh ya dari anak eksis. Hihihi. Maklum kata teman-temanku, aku ini manis. Jadi yaa wajar dong kalo aku bisa dapetin mereka berdua.
            Percintaanku dengan Nico hanya berahan dua bulan saja. Alsannya sama kenapa aku memutuskan untuk meninggalkan Nico. Iya, apa lagi kalau bukan aku tidak nyaman dan tidak bahagia. Nico sebenarnya cowok yang baik, dia selalu ada untukku. Dia juga  jujur. Hanya saja dia selalu genit kepada cewek-cewek yang mendekatinya. Bahkan kadang ketika dia sedang bersamaku, masih bisa-bisanya dia melirik cewek-cewek yang sedang lewat. Belum bahagiain aku, malah udah nyakitin aja.
            Hmm. Aku harus mencari cowok yang seperti apa lagi biar aku bisa merasakan yang namanya kebahagiaan? Aku masih punya beberapa mantan lagi. Tapi gamungkin semuanya aku certain disini. Padahal rata-rata dari mereka memenuhi semua kriteria yang semua cewek manapun mau. kenapa mereka tidak bisa membuatku nyaman? Juga tidak bisa membuatku bahagia?
 (Hapeku kembali berbunyi, satu pesan singkat masuk. Dari orang yang sama. Farizan)
“Nila, rambutnya jangan di iket dong. Kamu terlihat lebih manis kalau rambutmu digerai” kenapa dia tau apa yang sedang aku lakukan dan aku rasakan sekarang? Dan kenapa dia juga tau kalau aku sedang tidak mengikat rambutku? Aku memang jarang mengikat rambut. Apalagi kalau dikamar yang suhunya lebih panas dari ruang tengah, pasti aku selalu mengikat rambutku.
Apa Farizan sedang ada di kamarku? Sedang mengintipku. Huuuuhhh kalau memang benar dia ada diakamarku, akan ku hajar dia. Tidak sopan berada dikamar perempuan malam-malam seperti ini. Kemudian aku mencoba memeriksa jendela kamarku, aku lihat keluar, tidak ada siapapun diluar. Hanya ada hembusan angin malam. Aku coba cek di kamar mandi pun tidak ada. Aku coba periksa di laci mejaku, ah, tapi yamasa dia ada di dalam laci mejaku. Hihihi.
Ketika aku berjalan melewati kaca di meja riasku, kucoba melihat sejenak diriku. Lalu kulepaskan ikatan rambutku hingga rambutku tergerai menjulur. “Emm.. kalu dilihat-lihat, aku memang lebih cantik kalau di gerai.” Gumamku dalam hati, membanggakan diriku sambil tersenyum sendiri. Hihihi. Kemudian aku kembali ketempat tidur dan menghempaskan tubuhku. Tanpa sadar aku terlelap.
***
Aku sudah ada di depan gerbang sekolah. pagi ini aku terlambat bangun dan membuatku terlambat pergi kesekolah karena semalam terlalu asik curhat dengan laptopku. “Pak, tolong bukain dong gerbangnya, saya kan cuma terlambat lima menit.” Mintaku lirih kepada bapak satpam penjaga gerbang. “Tidak bisa dek, ini perintah ibu wakasek” Jawab pak satpam. Tak lama kemudian datanglah seorang cowok dengan motor supranya yang kurang lebih motor itu berumur sama dengan umur adikku yang sekolah disekolah dasar kelas satu.
“Nilaaa minggirrrr!!!!!!!” Teriak Farizan dengan kondisi sepedamotornya masih kencang yang akhirnya menabrak gerbang sekolah. Setelah itu Farizan terkena marah ibu wakasek karna menabrak gerbang sekolah. Aku hanya bisa tertawa melihat Farizan terkena marah ibu wakasek. Hihihi.
“Nil, kita kan dipulangin nih, kamu mau kemana?’’ Tanya Tarizan.
“Aku mau pulang.” Jawabku.
“Gimana kalau kita jalan aja, yaa nyari angin. Kita cariin tuh si angin, aku disuruh nyariin si angin sama emaknya, katanya dia disuruh matiin kompor”
“Hahaha, kamumah bercanda aja si zan, yamasa si angin lagi main, disuruh pulang cuma buat matiin kompor doang hahaha”
“Hahaha, ih emang bener tau nil, emaknya si angin lagi nyuci soalnya hahaha”
“Hahaha, yaudah ayok, kita jalan-jalan”
            Sebenarnya aku tidak ingin jalan dengan Farizan, karena aku bingung mau kemana saja jadi aku menerima tawarannya. Farizan itu anaknya selengean, dandanannya tidak pernah rapi. Bajunya selalu dikeluarkan. Rambutnya tidak pernah disisir, dia selalu membiarkan rambunya acak-acakan. Katanya si keren, masa yang kayak gitu dibilang keren.
Kata teman-temanku dia menyukaiku sejak kita masuk di kelas yang sama. Dia sering juga menunjukan tanda-tanda kalau dia menyukaiku. Seperti meneraktirku makan, membantuku mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, yang memang dari dulu aku tidak terlalu suka dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Makannya aku selalu mendapat nilai jelek dalam pelajaran itu. Masih banyak lagi tanda-tanda kalau dia menyukaiku, tapi aku tidak pernah menghiraukannya. Dia terlalu biasa dimataku.
***
Disepanjang perjalanan Farizan selalu saja melawak, apapun yang kita lewati dan kita temui selalu saja dia komentari. Seperti ketika kami akan melewati seorang anak kecil yang berjalan sendirian, Farizan menancap gasnya lalu meneriakan “Woooyyy!!!!” Ke arah anak kecil itu, hingga kaget dan menimbulkan gerakan refleks yang sangat lucu. Aku dan Farizan tertawa terbahak melihat reaksi kaget anak tersebut.
Kemudian sampailah kami disebuah rumah makan. Aku memang sekelas dengan Farizan, tapi aku tidak terlalu mengenalnya. Yang aku tahu dia hanya anak yang sangat aktif, nakal, petakilan, dan selalu saja menggodaku. Aku banyak bertanya tentang dirinya. Ternyata dibalik semua keburukannya, dia mempunyai nilai plus. Farizan sangat pintar dalam hal sastra dan sejarah. Khususnya sastra dan sejarah indonesia. Pantas saja nilaiku selalu bagus kalau Farizan membantu mengerjakan tugas Bahsa Indonesia. Dia juga sangat bijaksana dan dewasa ketika aku meminta pendapatnya tentang hal apapun. Apalagi dalam urusan hati dan agama.
Kini pandanganku terhadap Farizan mulai berubah. Image dia tidak lagi seburuk yang aku bayangkan selama ini. Kini aku tengah menatapnya perlahan. Melihatnya sedang menikmati makanannya. Mungkin dia lelah karna terlalu banyak mengeluarkan energi sepanjang perjalanan tadi hanya untuk membuaku tersenyum.
Hari sudah mulai sore. Ketika perjalanan mengantarku pulang, tiba-tiba saja Farizan berheti. Aku bingung kenapa dia berhenti. Ternyata Farizan berhenti karena melihat seorang kakek tua yang sedang menjajakan jejengkok (sejenis bangku kecil) nya di pinggir jalan. Kemudian Farizan membeli jejengkok itu tiga buah. “Hey, buat apaan kamu jejengkok itu?” Tanyaku heran. “Gak tahu.” Jawabnya dengan polos. “Terus kenapa kamu beli kalau kamu gak tau itu buat apa?” Aku kembali bertanya. “Emm.. sekarang aku belum tau ini buat apa, tapi nanti ini bakal bermanfaat ko. Aku Cuma pengen berbagi sedikit rezekiku buat anak kakek itu yang sedang menunggunya pulang dengan membawa uang. Kamu lihat sendiri kan? Jejengkok itu belum ada yang laku terjual satupun tadi.” Mendengar jawaban dari Farizan sontak membuatku terdiam. Dia masih bisa memikirkan rezeki orang lain dengan cara membeli barang yang dia tidak tahu barang itu akan berguna atau tidak untuknya.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Dikepalaku teringat kejadian tadi siang bersama Farizan. Terlebih setelah apa yang sudah aku lalui bersamanya hari ini. Masih teringat jelas bagaimana kebaikan seorang Farizan yang selama ini aku kenal nakal, petakilan, dan genit terhadapku ternyata mempunyai hati yang semulia itu. Aku yakin, itu bukan cara untuk membuatku simpati kepadanya. Telihat sangat spontan ketika dia membeli jejengkok itu, dan jawaban yang sangat polos yang keluar dari mulutnya ketika aku bertanya kepadanya. Hatiku berdebar kencang. Debaran jantung mulai berdecak. Hempasan angin menghantam setiap rongga hatiku. Sihir apa yang sudah Farizan gunakan? Hanya beberapa jam saja dia sudah membuatku merasa nyaman berada di dekanya. Ada apa dengan hatiku? Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Bahkan dengan mantan-mananku sebelumnya. Ada apa denganku? Kenapa ada perasaan yang aneh ketika aku di dekatnya. Kenapa aku ingin berlama-lama dengan cowok aneh ini? Cowok yang tidak pernah aku hiraukan perasaannya. Ahh, mungkin saja ini hanya efek dari kesenaganku karena tingkah konyolnya saja. Kucoba tepis perasaan aneh itu dan memejamkan mata.
***
Keesokan harinya aku tidak lagi acuh dengan tingkah Farizan. Entah mengapa aku selalu merasa senang ketika ia menggodaku. Dia selalu membuatku tersenyum.
Hari demi hari kami sudah mulai semakin dekat. Karena kedekatan kami, sekarang aku tau semua yang baik dan yang buruk dari Farizan. Begitu juga dengan Farizan. Dia kini telah mengetahui banyak tentangku. Siapa yang sangka, cowok yang perasaanya selalu kuacuhkan, malah dari dia aku bisa merasakan kenyamanan. Meskipun aku belum merasakan kebahagiaan, setidaknya aku suadah tau rasanya kenyamanan ketika berada di dekat seseorang. Siapa yang sangka, cowok yang dulu aku anggap tidak pantas denganku karena kurang ganteng, sebab aku selalu membandingkan cowok yang mendekatiku dengan mantan-mananku yang kebanyakan dari mereka adalah cowok-cowok ganteng. Malah sekarang dia yang membuatku tersenyum. Siapa yang sangka kalau cowok biasa-biasa saja, tidak eksis di sekolah malah dari dia aku mendpatkan banyak pelajaran bagaimana tentang menghargai dan menikmati pemberian tuhan.
Perjuangan Farizan selama ini tidak sia-sia. Kini aku mualai menyukainya. “Ahh, mana mungkin aku menyukai cowok kayak Farizan yang bandel itu?” Gumamku dalam hati. Setiap perasaan aneh itu muncul, berkalili-kali itu pula aku coba menepisnya. Aku coba anggap semua yang terjadi denganku hanya karena efek samping terlalu dekat dengan Farizan. Padahal dalam hatiku, aku tak bisa memungkiri, kalau aku sekarang memang menyukai Farizan. Aku nyaman berada di dekatnya, dia selalu membuatku tersenyum dengan tingkah konyolnya. Iya. ini bukanlah efek dari terlalu sering dekat dengan Farizan, ini adalah rasa sayang, ini cinta. Kini hatiku telah yakin dengan perasaanku. Kalau aku menyukai Farizan. Tapi apakah Farizan masih menyukaiku? Aku sudah mengacuhkan perasaanya selama enam bulan ini. Kesenangan dan senyumku kini berganti dengan kucuran kegelisahan. Kegundahan menggelayuti setiap lamunanku. Kenapa setelah aku yakin dengan perasaanku, malah sekarang aku tidak yakin dengan perasaan Farizan terhadapku. Padahal baru saja aku merasakan kebahagiaan, kenapa secepat ini dia berlalu. Kerisauan ini menemaniku hingga terpejamnya mataku.
***
Hari ini aku sudah jajian dengan Farizan unuk bertemu sepulang sekolah. Rencananya aku akan mengutarakan perasaaku terhadapnya. Aku idak perduli apapun jawabannya. Kalau dia menerimaku, aku akan sangat bersyukur dan bahagia. Tapi kalau dia menolakku, dengan sangat terpaksa aku akan menjauh dari kebahagiaan yang baru saja aku dapatkan.
Langit semakin gelap. Langit sudah menitikan banihnya satu demi satu. Aku sudah menunggu sejam ditaman ini, tapi Farizan tidak juga datang. Hujan kini mengguyur bumi dan membasahi sekujur tubuhku. Aku hawatir Farizan tidak datang untuk menemuiku. Kalau sampai dia tidak datang, hancur sudah semua perasaan dan semua harapanku. Kegelisahan kian erat menggelayutiku. Aku sudah mulai tertunduk lesu karena sampai saat ini Farizan tidak juga datang. Ketika aku sudah beranjak meninggalkan taman, menelusuri jalan dengan jutaan rasa kecewa dan kesedihan, tiba-tiba saja terdengar suara. “aku fikir kamu bakal nunggu aku sebentar lagi nil.” Aku menoleh kearah tersebut yang ternyata adalah Farizan yang berdiri di bawah cahaya lampu jalan dengan basah kuyup. “Aku suka sama kamu Nila dari sejak pertama aku tau kita satu kelas. Aku suka senyum kamu nil, makannya aku akan melakukan apapun supaya kamu bisa tersenyum nil. Aku suka sama kamu nil udah lama, tapi aku takut buat ngutarain perasaan aku, karena aku tau aku bukan tipe kamu. Aku bukan cowok eksis. Aku anak nakal nil. Aku ga ganteng Nila. Aku gak tajir. Dan aku ga sekasta samakamu nil.” Mendengar ungkapan Farizan aku langsung menitikan air mata. Hatiku terasa terenyuh. Debaran jantungku tidak menentu. Aku tidak bisa membendung rasa bahagiaku. Tanpa berkata apapun aku lalu berlari menuju Farizan dan memeluknya. “kamu memang buakn tipe aku zan. Kamu memang gak ganteng. Kamu memang gak eksis. Tapi kamu bisa bikin aku nyaman dan bahagia. Kamu memang gak sekasta sama aku. Tapi kamu bisa bikin aku sayang sama kamu zan.”
Dan pada akhirnya aku bisa menemukan kebahagiaan. Ternyata kebahagiaan bukan terdapat dari ketampanan seseorang. Bukan juga dari tingkat ketajiran dan keeksisan seseorang. Melainkan dari hati yang suci, ketulusan, kasih sayang, kejujuran, kelembutan dan cinta. Tidak perduli siapapun orang itu, apapun statusnya, dan bagaimanapun keadaannya. Ketika seseorang memiliki ketulusan, saat itu dia akan mendapat kebahagiaan.


Pamulang, 16 September 2014
GESANG AJI SAKA