Friday, 27 March 2015

Kemelut Lara






KEMELUT LARA




“Hey, masa lalu?! Bagaimana kau bisa tetap berdiam diri dan bertahan ditempat ini? Disudut hati yang sepi ini? Bukankan sang pemilik hati sudah muak dengan keberadaanmu? Bukankah dengan susah payahnya ia mencoba mengusirmu dari singgahsana ternyamanmu sekarang? Kenapa kau masih saja berkeras diri untuk tetap tinggal?” Ucap kebahagiaan.

“Itu hakku untuk tetap tinggal atau pergi berlalu.” Jawab masa lalu dengan nada sombong.

“Tidakkah kau tau, bagaimana perihnya sang pemilik hati saat kau mencoba menyapanya?! Tidak kah ada rasa iba sedikitpun saat sang pemilik hati terkapar tak berdaya ketika kau mendekapnya? Tidakkah kau merasakannya, betapa tersiksanya sang pemilik hati saat kau mencoba mendekatinya, kemudia kau berkata. “Aku takan pergi. Aku akan selalu ada dalam setiap relung hatimu.”" 

“Apa kedudukanmu?! Kau hanya bagian kecil dari ribuan cerita yang telah dibuat sang pemilik hati. Setiap kali kesunyian datang, dengan angkuhnya kau berjalan. Setiap keindahan yang datang, dengan gagahnya kau hancurkan. Apa sebenarnya maumu?!” lanjut kebahagiaan.

“Aku tidak menginginkan apapun. Aku hanya duduk terdiam disini. Sang pemilik hati saja yang selalu memanggilku untuk berdiri, kemudian membiarkanku berkuasa dihatinya.” Masa lalu kembali menjawab dengan nada arogan.

“Kalau kau tidak ada, mungkin sang pemilik hati tidak akan memanggilmu dan membiarkanmu berkuasa dalam hatinya. Asal kau tau, kerena kau! Sang pemilik hati tak kunjung berlalu dari lamunannya. Setiap harinya ia selalu mengelu-elukannmu. Dan tak membiarkan aku masuk dalam kehidupannya.”

“Lalu? Apa masalahnya denganmu wahai kebahagiaan?!” masa lalu bertanya kepada kebahagiaan yang tengah terbakar amarah.

“Apa masalahnya denganku?! Kau tanya apa masalahnya denganku?! Karena kau aku tidak punya kedudukan sedikitpun disini! Karena kau, sang pemilik hati selalu dalam kesedihan. Karena kau, aku tersingkirkan. Karena kau, aku tak ada!”

“Hahaha! Itu sudah nasibmu wahai kebahagiaan. Terima saja dengan nasibmu ini.” Sindir masa sambil terus tertawa tanda kemenangannya.

“Tidak! Nasib tidak ada yang seburuk ini. Aku akan membuat sang pemilik hati kembali terenyum. Bagaimanapun caranya. Kemudian aku akan membuat kau pergi dari tempatmu wahai masa lalu yang kelam!”

“Hahaha! Jangan bercanda duhai kebahagiaan! Aku dan sang pemilik hati sudah menyatu. Dalam setiap aliran darahnya terselip diriku, dalam setiap daya fikirnya terpampang wajahku, bahkan dalam hembusan nafasnya tersirat namaku. Aku lebih berkasa dibanding perasaan apapun.”

Kebahagiaanpun terdiam mendengar perkataan masa lalu.

“Hahaha. Kenapa kau terdiam duhai kebahagiaan yang indah? apa kau sudah merasa kalah, dan mengakui kalau aku lebih berkuasa di hati sang pemilik hati ketimbang kau?!” Lanjut masa lalu yang semakin besar kepala.

Seketika kebahagiaan tersenyum.

“Dalam setiap diri manusia, aku akan selalu ada. Walaupun sesekali aku kalah darimu. Suatu saat nanti aku yang akan bertahta. Aku akan kembali memberi warna bagi kehidupan sang pemilik hati. Aku tak akan membiarkan keterpurukan karena ulahmu itu hinggap, dan datang kembali kesini.”

“Hahaha. Kapan hal itu akan terjadi?! Aku sudah tidak sabar menunggu datangnya hari itu. Sudah, terima sajalah kekalahanmu duhai kebahagiaan. Bukankah buktinya sudah nyata? Setiap kali sang pemilik hati mencoba menemukan cinta baru, sesaat kau mungkin menang, aku terpinggirkan. Tapi ketika cinta baru itu tak lebih indah dariku? Kau kembali kalah duhai kebahagiaan. Hahaha.”

“Masa lalu. Sampai kapanpun kau hanya akan menjadi masa lalu. Kau tidak akan bisa menghadirkan aku. Kita tidak akan pernah menyatu. Suatu saat nanti, masa depan akan datang. Ia akan menghancurkanmu. Ia berjalan bersamaku untuk menggapai cahaya ketenangan. Kau akan kalah, kau akan terganti dengan kenangan yang lebih indah. sang pemilik hati tak akan lagi memanggilmu, karena aku telah berkuasa dalam hatinya. Saat kekuatan cinta kembali untuk sekali lagi, kau akan binasa. Camkan kata-kataku itu wahai masalalu yang kelam.”

Masa lalu hanya terdiam dengan keringat bercucuran. Ia takut kedudukannya kelak akan digantikan dengan kebahagiaan.